Film Eternity 2025 Dibintangi Elizabeth Olsen, Akankah Lanjut Season 2?
Interniti-Instagram-
Film Eternity 2025 Dibintangi Elizabeth Olsen Bakal Lanjut Season 2? Cinta Abadi di Balik Meja Birokrasi Akhirat – Sebuah Perenungan tentang Cinta, Pilihan, dan Penyesalan
Bayangkan Anda baru saja meninggal dunia. Tapi alih-alih langsung menuju surga bersinar atau neraka menyala, Anda malah mendarat di sebuah stasiun kereta—dingin, teratur, dan penuh dengan antrean panjang. Inilah gambaran unik yang dihadirkan dalam film Eternity, karya sutradara Freyne, yang menyuguhkan narasi afterlife (kehidupan setelah kematian) dengan cara yang jauh dari klise. Di tengah latar belakang birokrasi langit yang kocak namun menohok, film ini menawarkan perenungan emosional yang mendalam tentang cinta, pilihan, dan konsekuensi dari setiap keputusan yang kita ambil selama hidup.
Dunia Akhirat Ala Stasiun Kereta: Birokrasi Langit yang Penuh Ironi
Di tangan Freyne dan penulis naskah Patrick Cunnane, gagasan “akhirat” direvolusi menjadi sesuatu yang absurd sekaligus jenius: sebuah stasiun kereta raksasa yang dilengkapi hotel, aula konvensi, dan kafe yang dikelola oleh jiwa-jiwa yang “belum memilih”. Tempat ini bukan surga penuh cahaya atau taman malaikat, melainkan sistem birokratis yang sangat manusiawi—lengkap dengan agen afterlife yang berpakaian necis, membawa tablet digital, dan berlomba mendapatkan komisi dari jiwa-jiwa yang mereka bimbing.
Jiwa-jiwa yang tiba di sini—seperti tokoh utama Joan, yang diperankan dengan intens oleh Elizabeth Olsen—diberi waktu satu minggu penuh untuk memilih “eternity” atau akhirat abadi mereka. Opsi yang tersedia pun sangat variatif: ada Queer World yang merayakan kebebasan identitas, Outdoor World untuk pecinta alam, bahkan Man-free World bagi mereka yang ingin istirahat dari dinamika relasi heteroseksual. Setiap “dunia” dirancang dengan estetika dan nuansa emosional yang khas, mencerminkan keinginan paling dalam dari jiwa-jiwa yang memilihnya.
Tapi di balik pilihan yang tampak bebas itu, ada aturan yang tak bisa dinegosiasi: keputusan bersifat final. Tak ada undo, tak ada redo. Dan jika seseorang gagal memilih? Ancamannya adalah “void”—kegelapan total yang mengerikan, tak berbentuk, dan tak berjiwa. Di sinilah film ini memainkan ironi terdalam: kehidupan setelah kematian ternyata masih dipenuhi tekanan, batas waktu, dan konsekuensi—persis seperti kehidupan nyata.
Joan: Antara Kenangan Manis dan Luka yang Tak Kunjung Sembuh
Joan bukan tokoh pahlawan epik. Ia wanita biasa yang hidupnya dipenuhi momen-momen kecil—kegembiraan sederhana, konflik rumah tangga, dan keputusan yang terasa biasa saja saat diambil, tapi berdampak besar dalam jangka panjang. Setelah kematiannya, ia muncul di stasiun akhirat dengan penampilan terbaiknya: versi dirinya yang paling bahagia, penuh cahaya, dan damai.
Namun, damai itu segera terusik ketika dua sosok laki-laki dari masa lalunya muncul kembali: Larry (Miles Teller), suami keduanya yang setia namun penuh kecemasan; dan Luke (Callum Turner), suami pertamanya yang gugur dalam Perang Korea dan telah menunggu puluhan tahun di stasiun tersebut sebagai bartender yang pendiam tapi penuh rasa.
Joan terjebak dalam dilema cinta yang tak biasa. Bukan karena kurang cinta, tapi justru karena terlalu banyak cinta—dan penyesalan. Ia tak bisa membawa keduanya ke dunia abadi pilihannya. Hukum akhirat melarangnya. Maka, dalam waktu seminggu itu, Joan harus memilih: antara kenyamanan Larry yang familiar namun kadang melelahkan, atau kerinduan abadi pada Luke yang ideal namun mungkin hanya eksis dalam kenangan.
Humor, Ironi, dan Kritik Sosial yang Menyentuh
Salah satu kekuatan terbesar Eternity adalah kemampuannya menyatukan humor absurdis dengan refleksi eksistensial. Matahari terbit yang ternyata hanya ilusi layar digital di balik jendela stasiun, agen afterlife yang bersaing seperti sales asuransi, hingga brosur eternity yang menjanjikan “kebahagiaan tanpa batas” dengan syarat ketat—semua ini menjadi sindiran halus terhadap budaya konsumerisme dan obsesi manusia terhadap kontrol, bahkan setelah mati.
Namun di balik lelucon itu, film ini tak pernah kehilangan hatinya. Ketika rahasia masa lalu Joan mulai terungkap—perlahan, seperti bom waktu yang akhirnya meledak—penonton diajak merenung: apakah cinta sejati diukur dari kesetiaan harian, atau dari gairah yang begitu besar hingga mampu bertahan puluhan tahun dalam bentuk kerinduan?
Pertanyaan ini tak dijawab dengan mudah oleh film. Justru dengan sengaja, Eternity meninggalkan ruang bagi penonton untuk menjawabnya sendiri—berdasarkan pengalaman, luka, dan harapan mereka masing-masing.
Baca juga: Isu Cerai & Isu Pindah Agama, Ibunda Audi Marissa Beri Kode Kuat soal Anaknya Kembali Mualaf