RUU KUHAP Akan Disahkan Hari Ini: Apa Saja Isi dan Pasal-Pasal yang Disorot Publik?
tanda tanya-geralt/pixabay-
RUU KUHAP Akan Disahkan Hari Ini: Apa Saja Isi dan Pasal-Pasal yang Disorot Publik?
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menjadi pusat perhatian publik. RUU yang telah melalui proses panjang ini dikabarkan akan disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa, 18 November 2025. Informasi tersebut dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial dan memicu berbagai reaksi dari masyarakat.
Sebenarnya, pembahasan mengenai pembaruan KUHAP bukanlah hal baru. RUU ini pertama kali diajukan pada 18 Februari 2025, namun wacananya sendiri telah bergulir sejak tahun 2009. Proses yang berlarut-larut tersebut akhirnya mencapai titik krusial ketika DPR menjadwalkan pengesahan di sidang paripurna.
Namun, alih-alih disambut positif, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP justru menuai kritik dan kekhawatiran. Pasalnya, aturan baru ini dianggap berpotensi memperluas kewenangan aparat penegak hukum tanpa diikuti mekanisme pengawasan yang memadai.
Masyarakat Khawatirkan Potensi Penyalahgunaan Kewenangan
Salah satu sumber keresahan muncul dari ketentuan yang mengatur batas-batas kekuasaan negara dalam melakukan tindakan hukum terhadap warga. RUU KUHAP mengatur prosedur penangkapan, penahanan, penggeledahan, serta hak warga dalam mendapatkan bantuan hukum. Aspek-aspek tersebut dianggap amat krusial karena menyangkut perlindungan hak dasar setiap warga negara.
Kekhawatiran ini semakin menguat setelah berbagai opini publik muncul di media sosial. Salah satunya datang dari akun X (Twitter) @saturngguk, yang pada 16 November 2025 mengungkapkan kegelisahannya. Ia menyoroti besarnya wewenang penyidik dalam sejumlah pasal, terutama terkait proses penetapan status seseorang sebelum adanya kepastian tindak pidana.
Dalam unggahannya, ia menyebut bahwa di dalam KUHAP saat ini, penetapan tersangka harus didukung minimal dua alat bukti. Namun melalui ketentuan baru, seseorang bisa langsung diposisikan sebagai pelaku meski laporan baru masuk dan belum jelas terdapat tindak pidana atau tidak. Situasi tersebut, menurutnya, berpotensi menjadi “jalan pintas yang berbahaya”.
Pasal-Pasal RUU KUHAP yang Paling Banyak Disorot
RUU KUHAP memiliki jumlah pasal yang sangat banyak dan mengatur berbagai aspek proses hukum. Namun, sejumlah pasal yang belakangan menjadi sorotan publik adalah Pasal 74A, Pasal 78, dan Pasal 79. Ketiga pasal ini terutama berkaitan dengan mekanisme Keadilan Restoratif pada tahap penyelidikan dan penyidikan.
Berikut penjelasan isi pasal-pasal tersebut yang saat ini ramai diperbincangkan:
Pasal 74A: Ketentuan Keadilan Restoratif
Pasal 74A mengatur mengenai penerapan mekanisme keadilan restoratif. Beberapa ketentuan yang diatur mencakup:
Syarat tindak pidana yang dapat dikenai mekanisme keadilan restoratif, yaitu:
Tindak pidana yang ancaman maksimalnya berupa pidana denda kategori III atau penjara paling lama lima tahun.
Tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan oleh pelaku.
Tindak pidana yang terjadi karena kealpaan.
Tindak pidana yang bukan merupakan pengulangan, kecuali jika hukuman sebelumnya berupa denda.
Keadilan restoratif dapat berlaku meski tindak pidana belum terbukti terjadi. Berdasarkan laporan korban, penyelidik dapat memfasilitasi upaya perdamaian antara korban dan pelaku pada tahap penyelidikan.
Ketentuan poin kedua inilah yang paling memantik perdebatan karena penegakan hukum dapat dimulai tanpa kejelasan tindak pidana.
Bagian Kedua: Penyelesaian Perkara di Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
Pasal 78: Kesepakatan Penyelesaian Perkara
Pasal ini mengatur penyelesaian perkara melalui kesepakatan damai. Ada beberapa poin penting:
Pelaku dan korban dapat membuat kesepakatan penyelesaian perkara di hadapan penyelidik atau penyidik.
Kesepakatan tersebut harus ditandatangani oleh pelaku, korban, dan aparat yang berwenang.
Dengan adanya kesepakatan ini, penyelidik bisa menerbitkan Surat Penghentian Penyelidikan (SP2L).
Penyidik juga dapat menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) berdasarkan kesepakatan yang sama.
Ketentuan ini dinilai memberi ruang sangat luas bagi penyidik untuk menghentikan perkara sejak tahap awal.