Kisah Junko Furuta: Tragedi Kemanusiaan yang Mengguncang Jepang dan Dihubungkan Secara Keliru Oleh Nessie Judge Lewat Konten Halloween di YouTube Bareng NCT

Kisah Junko Furuta: Tragedi Kemanusiaan yang Mengguncang Jepang dan Dihubungkan Secara Keliru Oleh Nessie Judge Lewat Konten Halloween di YouTube Bareng NCT

Nessi-Instagram-

Kisah Junko Furuta: Tragedi Kemanusiaan yang Mengguncang Jepang dan Dihubungkan Secara Keliru Oleh Nessie Judge Lewat Konten Halloween di YouTube Bareng NCT

Pada awal November 2025, dunia maya Jepang diguncang oleh kontroversi yang memicu amarah luas di media sosial, khususnya platform X (sebelumnya Twitter). Seorang YouTuber asal Amerika Serikat, Nessie Judge, dituding memajang foto Junko Furuta — korban kekejaman paling mengerikan dalam sejarah kriminal Jepang modern — sebagai dekorasi Halloween di kanal YouTube-nya. Meskipun Nessie kemudian membantah tuduhan itu, menyatakan bahwa gambar yang muncul bukanlah foto Junko Furuta, dan bahwa ia tidak pernah berniat menghina atau mengolok-olok korban, publik Jepang tetap marah. Bukan tanpa alasan. Di balik kontroversi ini tersembunyi sebuah kisah yang begitu gelap, begitu menyakitkan, hingga menyentuh batas kemanusiaan itu sendiri.



Siapa Sebenarnya Junko Furuta?
Junko Furuta lahir pada 18 Januari 1971 di Tokyo, Jepang. Ia adalah seorang remaja biasa — siswi SMA yang suka membaca, menyukai musik, dan bekerja paruh waktu untuk membantu keluarganya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi korban dari kekejaman yang tak terbayangkan: penculikan, penyiksaan seksual berulang, dan pembunuhan brutal yang berlangsung selama 40 hari penuh. Kasus ini, yang terjadi antara November 1988 hingga Januari 1989, kini dikenal sebagai “Kasus Junko Furuta” — sebuah simbol kegagalan sistem sosial, pendidikan, dan hukum dalam melindungi anak-anak muda.

Kisahnya bukan sekadar kekerasan biasa. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, dilakukan oleh kelompok remaja yang seharusnya masih dalam tahap pembentukan karakter, bukan menjadi mesin kekejaman.

Awal Mula: Penculikan yang Tak Terduga
Pada malam 25 November 1988, Junko baru saja selesai bekerja di sebuah restoran cepat saji di distrik Misato, Saitama. Dalam perjalanan pulang, ia ditendang hingga jatuh dari sepedanya oleh Shinji Minato, seorang remaja berusia 16 tahun yang sedang berkeliling bersama temannya, Hiroshi Miyano, 18 tahun. Keduanya bukan orang asing — mereka adalah pelajar biasa yang tiba-tiba berubah menjadi predator.


Miyano, yang mengaku sebagai anggota Yakuza, mendekati Junko yang terjatuh dan berpura-pura menjadi penolong. Ia menawarkan bantuan, bahkan mengajaknya naik sepeda motor untuk “dibawa pulang”. Dengan polos, Junko mempercayainya. Itu adalah kesalahan terakhir dalam hidupnya.

Mereka membawanya ke sebuah gudang terpencil. Di sana, ancaman mulai terdengar. Miyano menunjukkan pisau, mengatakan bahwa jika Junko tidak patuh, ia akan dibunuh. Malam itu juga, ia diperkosa di sebuah hotel di distrik Adachi. Dan dari sinilah neraka benar-benar dimulai.

40 Hari Neraka: Penyiksaan Tanpa Henti
Setelah kejadian pertama, Junko tidak dilepaskan. Sebaliknya, ia dibawa ke rumah Minato, di mana ia dikurung di kamar lantai dua selama 40 hari penuh. Selama masa itu, ia menjadi tahanan hidup dari empat remaja: Miyano, Minato, Jō Ogura (17), dan Yasushi Watanabe (17). Mereka bergiliran memperkosa, menyiksa, dan menghina.

Tak ada yang bisa menggambarkan kekejaman ini dengan kata-kata biasa. Mereka mencukur rambut kemaluan Junko dengan pisau cukur, lalu membakar kulitnya dengan korek api. Ketika ia mencoba melarikan diri, mereka memukul wajahnya hingga patah tulang, membakar pergelangan kakinya dengan pemantik, dan memaksa ia berdiri di balkon tengah malam hanya dengan pakaian tipis, sementara suhu udara mencapai titik beku.

Ia dipaksa menari telanjang, melakukan masturbasi di depan mereka, dan diminta menghirup uap pengencer cat hingga pingsan. Botol kaca, batang logam, dan benda tajam lainnya dipaksa masuk ke dalam vagina dan anusnya. Ia dipaksa minum alkohol dalam jumlah besar, merokok dua batang sekaligus, dan bahkan disuruh meminum susu hingga muntah.

Dalam satu insiden mengerikan, Miyano sengaja menginjak genangan air yang dibuat dari air seni Junko, lalu menganggap itu sebagai “pelanggaran”. Sebagai hukuman, ia menyiram cairan pemantik ke paha dan tangan Junko, lalu membakarnya berulang kali. Junko menangis, berteriak, dan memohon agar mereka membunuhnya saja — tapi permohonannya diabaikan. Bahkan, para pelaku menertawakannya.

Kematian yang Tak Terhindarkan
Pada 4 Januari 1989, Junko sudah tak bisa bergerak. Tubuhnya penuh luka bakar, infeksi, dan patah tulang. Ia kehilangan sebagian besar giginya, matanya bengkak, dan kulitnya hampir tak tersisa. Pada malam itu, setelah dipukuli hingga tak bernyawa, para pelaku memutuskan untuk membunuhnya secara resmi. Mereka membakar tubuhnya — bukan karena kebencian, tapi karena takut terdeteksi.

Keesokan harinya, 5 Januari 1989, sekitar pukul 20.00, tubuh Junko dibungkus dengan selimut, dimasukkan ke dalam tas perjalanan besar, lalu ditempatkan di dalam drum logam berukuran besar. Drum itu diisi dengan semen basah — sebuah upaya kejam untuk mengubur jejak kejahatan mereka. Drum tersebut kemudian dibawa ke tanah kosong di Pulau Wakasu, Kōtō, Tokyo, dan ditinggalkan begitu saja.

Tiga hari kemudian, warga sekitar menemukan drum itu. Saat dibuka, yang muncul bukanlah sampah konstruksi, tapi tubuh seorang remaja perempuan yang telah hancur lebur. Polisi terkejut. Dokter forensik menangis. Masyarakat Jepang gempar.

Kasus yang Mengguncang Negeri Matahari Terbit
Kasus ini menjadi skandal terbesar dalam sejarah kriminal remaja Jepang. Tidak ada yang menyangka bahwa anak-anak seusia pelajar SMA bisa melakukan kekejaman sekejam itu. Tapi yang lebih memilukan adalah fakta bahwa semua pelaku adalah remaja — usia mereka berkisar antara 16 hingga 18 tahun — dan karena hukum Jepang pada masa itu melindungi pelaku di bawah 18 tahun dari hukuman mati atau penjara seumur hidup, mereka hanya dihukum maksimal 20 tahun.

Hiroshi Miyano, sang otak kekejaman, mendapat hukuman 20 tahun penjara. Tiga pelaku lainnya menerima hukuman antara 15 hingga 17 tahun. Semua dibebaskan setelah menjalani hukuman maksimal, dan sebagian besar kini hidup dalam anonimitas — tanpa permintaan maaf, tanpa penyesalan yang terdengar publik.

Mengapa Foto Junko Tidak Boleh Dijadikan Dekorasi?
Kontroversi yang melibatkan Nessie Judge bukan sekadar soal salah paham atau kesalahan teknis. Ini adalah soal penghormatan terhadap korban. Junko Furuta bukanlah karakter fiksi. Ia bukan “karakter horor” yang bisa dijadikan bahan lelucon. Ia adalah seorang perempuan muda yang menderita selama 40 hari tanpa keadilan, tanpa pertolongan, tanpa suara.

Di Jepang, budaya menghormati korban — terutama korban kekerasan seksual — sangat kuat. Bahkan dalam kasus-kasus kriminal biasa, foto korban tidak pernah dipublikasikan tanpa izin keluarga. Dalam kasus Junko, keluarganya sendiri selama puluhan tahun menolak mempublikasikan fotonya, demi menjaga martabatnya.

Menggunakan foto Junko sebagai dekorasi Halloween — bahkan tanpa niat jahat — adalah bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan manusia. Ini adalah bentuk eksploitasi trauma. Dan di dunia digital, di mana konten viral bisa lahir dalam hitungan detik, kecerobohan semacam ini bisa mengulangi luka bagi keluarga korban, bagi korban lain yang masih hidup, dan bagi masyarakat yang masih terluka oleh kekejaman serupa.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya