Siapa Eric Harris? Jejak Kekerasan yang Menggema hingga SMAN 72: Dari Columbine hingga Ledakan di Kelapa Gading

Siapa Eric Harris? Jejak Kekerasan yang Menggema hingga SMAN 72: Dari Columbine hingga Ledakan di Kelapa Gading

Ledakan-Instagram-

Siapa Eric Harris? Jejak Kekerasan yang Menggema hingga SMAN 72: Dari Columbine hingga Ledakan di Kelapa Gading

Ledakan mengerikan yang terjadi di SMAN 72 Kelapa Gading pada Jumat, 7 November 2025, bukan sekadar insiden kekerasan biasa. Peristiwa ini memicu gelombang kecemasan nasional, sekaligus membuka kembali luka masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh: tragedi Columbine. Di tengah debu dan kepanikan, sebuah detail kecil—tulisan “Natural Selection” yang terukir di senjata api rakitan—menjadi titik balik dalam penyelidikan. Dan di situlah nama Eric Harris muncul, bukan sebagai tokoh fiksi, tapi sebagai simbol gelap dari kekerasan sistemik yang ternyata masih hidup dalam pikiran generasi muda yang terluka.



“Natural Selection”: Kalimat yang Menggema dari Masa Lalu
Tulisan “Natural Selection”—yang secara harfiah berarti “Seleksi Alam”—bukan sekadar coretan acak. Dalam dunia subkultur kekerasan online, frasa ini adalah simbol yang sangat bermakna. Ia mengacu langsung pada Eric Harris, salah satu pelaku utama penembakan massal di Columbine High School, Colorado, Amerika Serikat, pada 20 April 1999. Seorang pengguna Twitter bernama @dwpaean mengunggah bukti visual pada 7 November 2025, menunjukkan bahwa tulisan identik itu pernah ada di senjata buatan Harris sendiri. Di era digital, simbol-simbol semacam ini bukan lagi sekadar nostalgia, tapi jembatan antara trauma masa lalu dan kekerasan masa kini.

Di balik frasa itu tersembunyi paham ekstrem: bahwa hanya yang kuat yang berhak bertahan, dan yang lemah—terutama yang dianggap “lemah secara sosial”—layak dihapus. Paham ini, yang mengambil alih teori Darwin secara keliru, menjadi mantra ideologis bagi para pelaku kekerasan massal yang merasa dihina, diabaikan, dan tidak diterima oleh dunia.

Eric Harris: Sang Arsitek Kekerasan yang Tak Pernah Dihentikan
Eric David Harris, lahir pada 5 April 1981, bukanlah sosok biasa. Ia adalah seorang remaja berbakat—cerdas, karismatik, dan sangat terampil dalam teknologi—namun juga sangat berbahaya. Dalam laporan psikologis pasca-tragedi Columbine, Harris digambarkan sebagai individu yang mengidap gangguan kepribadian antisosial, dengan ciri-ciri psikopatik: tidak memiliki empati, manipulatif, narsistik, dan memiliki rasa superioritas yang ekstrem. Ia tidak hanya membenci orang lain; ia membenci manusia sebagai spesies.


Harris merancang serangan Columbine bukan sebagai tindakan impulsif, tapi sebagai sebuah pertunjukan. Ia ingin dunia melihat betapa kuatnya kehancuran yang bisa ia ciptakan. Rencananya awalnya jauh lebih mengerikan: ia dan temannya, Dylan Klebold, merencanakan ledakan besar di kantin sekolah menggunakan tabung gas propana yang dirancang untuk menewaskan ratusan siswa dan guru. Ketika bom gagal meledak—karena kesalahan teknis—Harris tidak menyerah. Ia beralih ke rencana B: penembakan massal.

Dengan senjata api, bom rakitan, dan mentalitas yang dingin, Harris dan Klebold berjalan melalui koridor sekolah seperti dewa kematian. Mereka menembak siapa pun yang mereka lihat. 12 siswa dan 1 guru tewas. Lebih dari 20 orang terluka. Di akhir hari itu, keduanya berjalan ke perpustakaan, duduk di atas meja, dan menembak diri mereka sendiri—sebuah akhir yang mereka anggap sebagai “kemenangan”.

Kebencian yang Tersimpan di Layar: Dunia Virtual sebagai Laboratorium Kekerasan
Yang paling menakutkan dari Eric Harris bukan hanya aksinya, tapi cara ia membangun narasi kebenciannya. Ia membuat situs web pribadi yang penuh dengan catatan harian, ancaman terhadap guru, rencana serangan, dan video-game yang ia rekam sendiri. Dalam dunia virtual, ia menjadi pahlawan yang menghancurkan dunia yang menolaknya. Ia bermain game tembak-tembakan berulang kali, bukan untuk hiburan, tapi sebagai latihan mental—membiasakan diri dengan kekerasan, membangun desain strategis, dan memperkuat keyakinan bahwa kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang dipahami dunia.

Dalam catatannya, Harris menulis: “Aku tidak ingin dihormati karena aku baik. Aku ingin dihormati karena aku takut.” Kalimat ini, yang kemudian menjadi mantra bagi banyak pelaku kekerasan massal global, adalah inti dari kegagalan sistem: sistem pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang gagal membaca tanda-tanda bahaya sebelum terlambat.

Dari Colorado ke Kelapa Gading: Pola yang Sama, Konteks yang Berbeda
Kini, di SMAN 72 Kelapa Gading, kita melihat pola yang sangat mirip. Korban diduga adalah siswa yang mengalami bullying berkepanjangan. Saksi mata mengatakan, ia membawa tiga jenis bom—dua di antaranya meledak. Di lokasi kejadian, ditemukan senjata rakitan dengan tulisan “Natural Selection”—persis seperti yang digunakan Harris dua dekade lalu. Ini bukan kebetulan. Ini adalah tanda bahwa ideologi kekerasan ekstrem telah menyebar melalui internet, menjadi racun digital yang menginfeksi pikiran remaja yang rentan.

Tidak ada yang tahu pasti apakah pelaku SMAN 72 secara langsung terinspirasi oleh Eric Harris. Tapi yang jelas: ia terinspirasi oleh narasi yang sama—narasi bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk membuat dunia mendengar, bahwa penghinaan harus dibalas dengan darah, dan bahwa kehidupan yang tak berarti bisa diakhiri dengan cara yang “bermakna” di mata dunia.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya