Kisah Pilu Wulandari Julianti: Ibu di Tangsel Lawan Ketidakadilan demi Lindungi Anak dari Pelecehan Ayah Tiri

Wulan-Instagram-
Kisah Pilu Wulandari Julianti: Ibu di Tangsel Lawan Ketidakadilan demi Lindungi Anak dari Pelecehan Ayah Tiri
Di balik hiruk-pikuk kota Tangerang Selatan yang maju dan modern, tersimpan kisah pilu seorang ibu tangguh bernama Wulandari Julianti. Perempuan paruh baya ini kini berjuang mati-matian menuntut keadilan setelah anak kandungnya, berinisial A, menjadi korban pelecehan seksual oleh ayah tirinya sendiri. Namun, perjuangannya tak berjalan mulus—ia justru menghadapi tembok dingin dari aparat kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung warga.
Kisah ini pertama kali mencuat ke publik melalui kanal YouTube Curhat Bang Denny Sumargo pada Minggu, 12 Oktober 2025. Dalam wawancara emosional yang menyayat hati, Wulandari—ibu dari dua anak—mengungkap betapa sistem hukum justru memperparah luka yang sudah menghancurkan hidupnya dan putrinya.
Pelecehan yang Terjadi di Balik Pintu Rumah Sendiri
Menurut pengakuan Wulandari, pelecehan terhadap putrinya terjadi setelah keluarga kecil itu kembali tinggal serumah dengan suami keduanya—yang tak lain adalah ayah tiri A. Awalnya, Wulandari berharap rumah tangga keduanya bisa menjadi pelabuhan damai setelah pernikahan pertamanya kandas. Namun, kenyataan berkata lain.
Alih-alih memberikan perlindungan, sang suami justru menunjukkan sisi gelapnya: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kecanduan judi online, konsumsi minuman keras, hingga perselingkuhan. Namun, Wulandari masih berusaha bertahan demi menjaga keutuhan rumah tangga—hingga akhirnya batas toleransinya benar-benar runtuh.
“Saya baru berani melapor setelah anak saya dilecehkan dan bahkan diancam oleh pelaku,” ungkapnya dengan suara bergetar.
Laporan Mandek, Perlindungan Tak Kunjung Datang
Wulandari pertama kali melaporkan kasus ini ke kepolisian pada April 2025. Ia berharap laporan tersebut menjadi awal dari proses hukum yang adil dan perlindungan bagi putrinya yang masih di bawah umur. Namun, apa yang ia terima justru jauh dari harapan.
Alih-alih mendapat pendampingan atau tindakan cepat, Wulandari justru diberi nasihat yang terasa seperti pengkhianatan terhadap korban: “Ibu jangan cerai dulu. Tetap tinggal di rumah untuk memperlancar TKP (Tempat Kejadian Perkara).”
Kalimat itu bukan hanya mengejutkan, tapi juga berbahaya. Pasalnya, meminta korban tetap tinggal bersama pelaku—apalagi dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak—bisa memperparah trauma dan membuka peluang bagi pelaku untuk mengulangi tindak kejahatannya.
“Saya sampai nangis di depan penyidik. Saya tanya, ‘Pak, gimana kelanjutannya? Suami saya itu dipanggil atau saya harus bagaimana? Saya berbuat apa nih nanti?’ Tapi jawabannya malah menyuruh saya tetap di rumah,” cerita Wulandari sambil menahan isak.
Dampak Trauma yang Menghancurkan Masa Depan
Akibat kejadian mengerikan ini, kehidupan Wulandari dan putrinya porak-poranda. Sebagai seorang asisten rumah tangga (ART), Wulandari terpaksa berhenti bekerja karena kondisi mental dan emosionalnya tak lagi stabil. Ia merasa hidupnya “berantakan” dan kehilangan arah.
Lebih menyedihkan lagi, korban—yang masih duduk di bangku sekolah—terpaksa putus sekolah. Trauma mendalam akibat pelecehan membuatnya tak mampu lagi fokus belajar, apalagi berinteraksi sosial seperti dulu. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi jalan keluar dari keterpurukan.
“Anak saya sekarang diam terus. Tidak mau bicara. Bahkan kalau lihat laki-laki dewasa, dia langsung ketakutan,” ujar Wulandari dengan suara lirih.
Publik Geram, Pertanyaan Besar untuk Aparat Hukum
Kisah Wulandari Julianti langsung memicu gelombang empati dan kemarahan di media sosial. Banyak netizen mempertanyakan komitmen aparat penegak hukum dalam melindungi korban kekerasan, terutama anak-anak. Bagaimana mungkin seorang ibu yang melapor demi keselamatan anaknya justru disuruh kembali ke “sarang serigala”?
Pakar hukum perempuan dan anak, Dr. Lina Marlina, menegaskan bahwa tindakan polisi dalam kasus ini sangat tidak sesuai dengan protokol penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtPPA). “Korban harus segera dipisahkan dari pelaku. Meminta korban tetap tinggal di TKP bukan hanya keliru, tapi juga melanggar prinsip perlindungan korban,” tegasnya.
Baca juga: Trans7 Kenapa Diboikot? Benarkah Akibat Dituding Melecehkan Kiai dan Pesantren Lirboyo?