Dua Guru Pelaku Bullying di Wellington Intelligence School Akhirnya Minta Maaf dan Siap Dipecat: Refleksi Mendalam atas Kelalaian Pendidik

Dua Guru Pelaku Bullying di Wellington Intelligence School Akhirnya Minta Maaf dan Siap Dipecat: Refleksi Mendalam atas Kelalaian Pendidik

Guru-Instagram-

Dua Guru Pelaku Bullying di Wellington Intelligence School Akhirnya Minta Maaf dan Siap Dipecat: Refleksi Mendalam atas Kelalaian Pendidik

Deli Serdang, Sumatera Utara – Kasus bullying yang melibatkan dua tenaga pendidik di Wellington Intelligence School, Deli Serdang, Sumatera Utara, akhirnya memasuki babak baru. Livani dan Vivian, dua guru yang sebelumnya viral karena tindakan merundung murid-muridnya, kini secara terbuka meminta maaf dan menyatakan kesiapan mereka untuk menerima sanksi terberat: pemecatan dari institusi pendidikan tempat mereka mengabdi.



Peristiwa ini menjadi sorotan nasional setelah video dan unggahan di media sosial menunjukkan aksi tidak terpuji kedua guru tersebut. Dalam unggahan itu, terlihat mereka meledek murid, memaksa anak-anak menangis, bahkan mengambil foto korban saat sedang buang air kecil di toilet—lalu menyebarkannya di Instagram. Tindakan tersebut bukan hanya melanggar etika profesi kependidikan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum perlindungan anak.

Permintaan Maaf yang Terlambat, Tapi Harus Diapresiasi
Pada Senin, 29 September 2025, Livani dan Vivian akhirnya angkat suara. Dalam pernyataan resmi yang disampaikan kepada awak media, keduanya mengakui bahwa tindakan mereka sangat tidak pantas dan tidak mencerminkan nilai-nilai seorang pendidik.

“Tindakan tersebut merupakan kesalahan kami dan dilakukan tanpa sepengetahuan pihak sekolah,” ujar salah satu dari mereka, dikutip dalam konferensi pers singkat yang digelar di luar gedung sekolah.


Vivian menambahkan bahwa mereka telah meminta maaf secara langsung kepada orang tua para korban. “Kami secara pribadi telah meminta maaf kepada orang tua yang bersangkutan, karena kami sadar tindakan yang kami lakukan itu salah dan tidak pantas kami lakukan, apalagi sebagai seorang tenaga pendidik,” katanya dengan suara bergetar.

Permintaan maaf ini, meski datang setelah tekanan publik yang besar, menjadi langkah penting dalam proses pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Namun, banyak pihak tetap mempertanyakan: mengapa tindakan keji seperti ini bisa terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak?

Tanggung Jawab Moral dan Konsekuensi Profesional
Sebagai tenaga pendidik, Livani dan Vivian seharusnya menjadi teladan, bukan pelaku kekerasan verbal dan psikologis terhadap murid. Fakta bahwa mereka merekam dan menyebarkan momen memalukan seorang anak ke media sosial menunjukkan ketidakpekaan ekstrem terhadap hak privasi dan martabat peserta didik.

Menyadari gravitasi kesalahan mereka, kedua guru tersebut menyatakan kesiapan untuk menerima konsekuensi apapun dari pihak sekolah. “Kami akan menerima semua konsekuensi yang tegas dari pihak sekolah, termasuk sanksi keras hingga keputusan untuk keluar dari sekolah,” tegas Vivian.

Langkah ini patut dihargai sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Namun, masyarakat tetap menuntut transparansi dari Wellington Intelligence School terkait proses investigasi internal, kebijakan pencegahan bullying di lingkungan sekolah, serta langkah rehabilitasi bagi para korban.

Reaksi Publik dan Tuntutan Reformasi Sistem Pendidikan
Kasus ini memicu gelombang kemarahan di media sosial. Banyak warganet mengecam tindakan kedua guru tersebut dan menuntut agar mereka tidak hanya dipecat, tetapi juga diproses secara hukum. Pasalnya, Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) secara tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan psikologis dan pelanggaran privasi.

“Ini bukan sekadar ‘gurauan’ atau ‘candaan’. Ini adalah kekerasan yang bisa meninggalkan trauma seumur hidup pada anak-anak,” tulis salah satu komentar viral di Twitter.

Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Medan, Dr. Rina Siregar, menekankan pentingnya reformasi sistem rekrutmen dan pelatihan guru. “Tidak cukup hanya memiliki ijazah pendidikan. Calon guru harus melalui uji psikologis mendalam dan pelatihan karakter yang ketat. Karena guru bukan hanya pengajar, tapi juga pembentuk kepribadian anak,” jelasnya.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya