Skandal Kinerja Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana: “Taunya Cuma Jalan-Jalan”, Pegawai Kemenpar Bongkar Fakta Mengejutkan

Skandal Kinerja Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana: “Taunya Cuma Jalan-Jalan”, Pegawai Kemenpar Bongkar Fakta Mengejutkan

Widiyanti-Instagram-

Skandal Kinerja Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana: “Taunya Cuma Jalan-Jalan”, Pegawai Kemenpar Bongkar Fakta Mengejutkan

Gelombang kritik terhadap Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, kian menguat. Bukan hanya dari publik atau pengamat, tapi justru datang dari dalam: para pegawai Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sendiri. Sebuah pengakuan mengejutkan dari seorang staf internal membongkar realitas pahit di balik layar kementerian yang seharusnya menjadi ujung tombak kemajuan pariwisata Indonesia.



Akun Instagram populer @cabinetcouture_idn, yang kerap mengulas gaya hidup dan gaya berbusana para pejabat tinggi, awalnya memang fokus pada koleksi fashion mewah sang menteri — mulai dari tas branded hingga gaun haute couture yang harganya mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Namun, postingan itu justru memicu gelombang curhatan dari dalam tubuh Kemenparekraf. Salah satunya, sebuah testimoni anonim yang viral dan mengguncang dunia pariwisata nasional.

“Ini Orang Ngaco Bikin Kebijakan!”
Dalam unggahan yang dikutip Rabu (17/9/2025), seorang pegawai Kemenparekraf yang meminta identitasnya dirahasiakan menyatakan kekecewaannya secara blak-blakan. Ia menyebut bahwa kebijakan dan program yang digagas oleh Widiyanti Putri Wardhana seringkali dibuat tanpa dasar strategis, asal-asalan, dan jauh dari realitas lapangan.

“Aku juga kerja di pariwisata. Ini orang ngaco bikin kebijakan sama programnya,” ujar pegawai tersebut dengan nada frustrasi.


Ungkapan “ngaco” ini bukan sekadar emosi sesaat. Ia menjelaskan bahwa banyak program yang diluncurkan terkesan bombastis di media, namun minim eksekusi, tidak terukur dampaknya, dan bahkan seringkali tumpang tindih dengan program sebelumnya — atau malah bertentangan dengan kebutuhan riil pelaku industri pariwisata di daerah.

Staf Ahli Ikut “Terbawa Arus”?
Lebih mengejutkan lagi, pegawai itu juga menyayangkan kinerja para staf ahli di sekitar sang menteri. Seharusnya, staf ahli berperan sebagai penyeimbang, penyaring ide, dan pemberi masukan berbasis data dan riset. Namun faktanya, menurut sumber ini, mereka justru “ikut-ikutan” tanpa memberikan koreksi atau arahan yang substantif.

“Aku juga heran, masa staf-staf ahli di bawahnya, ikut nggak bener juga? Harusnya kan mereka yang mengarahkan, bukan malah nurutin keinginan tanpa dasar,” tambahnya.

Ini menjadi alarm merah. Ketika sistem check and balance di internal kementerian tidak berjalan, maka kebijakan publik — yang menyangkut miliaran rupiah anggaran negara dan nasib ribuan pelaku usaha pariwisata — bisa jadi hanya berdasarkan selera pribadi atau kepentingan sesaat.

Pariwisata Bukan Sekadar “Jalan-Jalan dan Selfie”
Salah satu kritik paling pedas yang dilontarkan adalah persepsi sang menteri terhadap esensi pariwisata itu sendiri. Menurut pegawai tersebut, Widiyanti Putri Wardhana seolah menganggap bahwa pariwisata hanyalah soal “jalan-jalan”, “foto-foto cantik”, dan “promosi di media sosial”.

“Dia taunya pariwisata itu cuma jalan-jalan dan promosi aja deh. Padahal kalau ngomongin strategi, nggak sesederhana itu,” tegasnya.

Padahal, dunia pariwisata adalah industri kompleks yang melibatkan banyak sektor: infrastruktur, keamanan, kebersihan, transportasi, regulasi, SDM, digitalisasi, branding destinasi, hingga diplomasi budaya. Belum lagi tantangan pasca-pandemi, persaingan global, dan kebutuhan untuk membangun pariwisata berkelanjutan yang ramah lingkungan dan inklusif.

“Membangun pariwisata itu butuh grand design, masterplan, kolaborasi lintas sektor, riset pasar, dan pemahaman mendalam tentang perilaku wisatawan domestik maupun mancanegara. Bukan sekadar launching event atau foto-foto di spot Instagramable,” tambah sumber lain yang juga enggan disebut namanya.

Dampak Nyata: Program Gagal, Anggaran Mubazir
Beberapa program yang disebut “ngaco” antara lain:

Festival Budaya Instan yang digelar tanpa melibatkan komunitas lokal, sehingga terkesan dipaksakan dan tidak autentik.
Kampanye Digital Tanpa Target Jelas, yang menghabiskan anggaran besar namun tidak meningkatkan kunjungan wisatawan secara signifikan.
Kolaborasi Influencer yang Tidak Tepat Sasaran, di mana influencer yang dipilih justru tidak memiliki audiens yang relevan dengan target pasar pariwisata Indonesia.
Pembangunan Infrastruktur Wisata Tanpa Studi Kelayakan, yang berujung pada proyek mangkrak atau tidak dimanfaatkan maksimal.
Semua ini, menurut para pegawai, bukan hanya membuang uang negara, tapi juga merusak reputasi Indonesia di mata dunia pariwisata internasional.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya