Shell Diduga Akan PHK Massal Karyawan: Dampak Kebijakan Larangan Impor BBM untuk SPBU Swasta?

Shell Diduga Akan PHK Massal Karyawan: Dampak Kebijakan Larangan Impor BBM untuk SPBU Swasta?

Shell-Instagram-

Shell Diduga Akan PHK Massal Karyawan: Dampak Kebijakan Larangan Impor BBM untuk SPBU Swasta?

Kabar mengejutkan datang dari dunia perminyakan nasional. Shell, salah satu merek Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta paling populer di Indonesia, dikabarkan tengah menghadapi krisis operasional yang berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap karyawannya. Isu ini mencuat di tengah kebijakan kontroversial Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melarang impor bahan bakar minyak (BBM) untuk SPBU swasta.



Shell, yang selama ini dikenal dengan layanan premium, kebersihan fasilitas, dan kualitas BBM yang konsisten, kini terancam kehilangan daya saingnya. Bukan karena manajemen internal yang buruk, melainkan akibat kebijakan eksternal yang dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk monopoli terselubung oleh Pertamina.

Kebijakan ESDM Jadi Biang Kerok?
Sumber utama informasi ini berasal dari unggahan viral di Twitter oleh akun @rasjawa pada 14 September 2025. Dalam cuitannya, ia membagikan tangkapan layar dari akun @ilmudata yang menceritakan pengalaman menyedihkan saat mengunjungi SPBU Shell yang hampir tutup karena kehabisan stok BBM.

“Abang-abang pom bensin bilang: ‘Ini kita sudah terakhir pak, yang lain udah pada di layoff. Stock impor udah gak akan ada lagi sampai tahun depan. Kalau stock di terminal penyimpanan habis, selesai sudah,’ Ngomong kayak gitu sambil berkaca-kaca,” tulis akun tersebut.


Kalimat yang penuh emosi itu bukan hanya menyentuh hati netizen, tapi juga memicu gelombang protes terhadap kebijakan pemerintah. Banyak yang menilai bahwa kebijakan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang melarang impor BBM untuk SPBU swasta dan mewajibkan mereka hanya membeli dari Pertamina, adalah bentuk monopoli yang merugikan pasar dan konsumen.

Monopoli atau Perlindungan Nasional?
Secara resmi, kebijakan ini disebut bertujuan untuk “melindungi pasar domestik” dan “menjamin stabilitas pasokan BBM nasional.” Namun, di lapangan, dampaknya justru sebaliknya. SPBU swasta seperti Shell, Total, Vivo, dan lainnya, yang selama ini mengandalkan impor BBM berkualitas tinggi untuk memenuhi standar layanan mereka, kini terjepit.

Mereka tidak bisa lagi mengimpor BBM sesuai spesifikasi yang diinginkan. Mereka dipaksa membeli dari Pertamina — yang notabene adalah kompetitor sekaligus pemasok tunggal. Ini menciptakan paradoks: Pertamina berperan ganda sebagai regulator pasar dan pemain utama, sementara SPBU swasta kehilangan otonomi dalam memilih pemasok.

“Pertamina maunya memenangkan kompetisi dengan cara main monopoli. Bukan dengan memperbaiki kualitas. Karena sudah diperas mafia migas?” tulis akun @ilmudata dalam cuitannya yang kini telah dilihat lebih dari 828.600 kali.

Viral di Media Sosial, Publik Bereaksi Keras
Cuitan tersebut memantik reaksi keras dari warganet. Ribuan komentar bermunculan, sebagian besar bernada kritis terhadap kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi yang semakin memprihatinkan.

Akun @hakimjmt menulis:

“Monopoli dan korupsi secara terang-terangan, negara gak lagi perang, SDA banyak, SDM banyak, tapi ekonomi dan kestabilan negara jauh di bawah negara-negara konflik, hidup cuma sekali eh malah jadi WNI.”

Sementara akun @dewey_________ menyuarakan kekecewaan atas nasib tenaga kerja:

“Pemerintah gak bisa bikin 19 juta lapker ditambah badai PHK terus masalah gini, gue jadi bingung sebenarnya mereka itu mau rakyat gimana? Gue tahu yang bisa kerja dan dapat uang gede cuma circlenya pemerintah aja tapi gak gini juga lah. Capeknya jadi WNI.”

Dan akun @sembarangtempe bahkan menyampaikan keputusasaan yang lebih dalam:

“So Stressfull tinggal di negara yang modelan govermentnya begini. Kejahatan struktural dan terang-terangan begini obatnya cuma: 1. Bakar lumbungnya, 2. Gua yang pergi daripada gila.”

Dampak Ekonomi Lebih Luas: PHK, Konsumen, dan Persaingan Usaha
Jika kabar PHK di Shell benar-benar terjadi, ini bukan hanya soal satu perusahaan. Ini adalah preseden buruk bagi iklim investasi dan persaingan usaha di Indonesia. Shell bukan sekadar SPBU — ia adalah simbol kompetisi sehat di sektor energi, tempat konsumen punya pilihan antara layanan premium dan standar.

PHK massal di Shell juga berarti hilangnya ratusan, bahkan ribuan lapangan kerja — mulai dari petugas SPBU, teknisi, staf administrasi, hingga manajer cabang. Di tengah lesunya ekonomi global dan tekanan inflasi domestik, kebijakan ini justru menambah beban masyarakat.

Belum lagi dampak terhadap konsumen. Dengan berkurangnya pilihan SPBU swasta, konsumen terpaksa beralih ke SPBU Pertamina — yang sering dikeluhkan karena antrean panjang, layanan kurang optimal, dan kualitas BBM yang tidak selalu konsisten. Ini jelas merugikan konsumen, yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan energi.

Pertamina: Pemain Tunggal atau Penyelamat Pasar?
Pertamina, sebagai BUMN energi, tentu memiliki peran strategis dalam menjaga ketahanan energi nasional. Namun, menjadi satu-satunya pemasok BBM bagi seluruh SPBU — termasuk kompetitor — justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini demi kepentingan nasional, atau demi melindungi kepentingan korporasi?

Banyak pengamat menilai, jika pemerintah ingin Pertamina unggul, seharusnya melalui peningkatan kualitas, efisiensi, dan inovasi — bukan dengan mematikan kompetitor lewat regulasi. Monopoli hanya akan membuat Pertamina malas berinovasi, sementara konsumen dan pekerja menjadi korban.

Apa Kata Pemerintah dan Shell?
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kementerian ESDM belum memberikan pernyataan resmi terkait viralnya isu ini. Begitu pula dengan Shell Indonesia, yang belum merilis konfirmasi atau klarifikasi mengenai kemungkinan PHK massal.

Namun, sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa beberapa SPBU Shell di wilayah Jakarta dan sekitarnya memang sudah mulai mengurangi jam operasional, bahkan ada yang tutup sementara karena kehabisan stok BBM impor.

“Kami sedang menunggu kebijakan baru dari pusat. Jika tidak ada solusi, kemungkinan besar akan ada restrukturisasi besar-besaran, termasuk pengurangan tenaga kerja,” ungkap sumber tersebut.

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya