Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara: Dari Rp1,7 Miliar ke Rp0, Hanya Modal HP dan Sosial Media!

Sherly-Instagram-
Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara: Dari Rp1,7 Miliar ke Rp0, Hanya Modal HP dan Sosial Media!
Di tengah gempuran kritik terhadap pemborosan anggaran publik, muncul sosok yang justru membuktikan bahwa inovasi bisa menggantikan biaya besar — tanpa perlu ribet, tanpa proyek rumit, bahkan tanpa mengeluarkan satu rupiah pun. Dialah Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara, yang baru-baru ini menjadi sorotan nasional karena cara uniknya mengidentifikasi jalan rusak: hanya dengan memanfaatkan media sosial.
Permintaan Rp1,7 Miliar yang Bikin Geleng-Geleng Kepala
Semua bermula dari sebuah rapat kerja rutin di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Dinas Pekerjaan Umum (PU) mengajukan permohonan anggaran senilai Rp1,7 miliar untuk kegiatan “identifikasi jalan rusak” di seluruh wilayah provinsi yang terdiri atas 9 kabupaten/kota dan puluhan pulau terpencil.
Angka itu bukan main-main. Untuk sebuah kegiatan yang seharusnya bisa dilakukan dengan survei lapangan sederhana, pemetaan digital, atau bahkan partisipasi masyarakat — permintaan sebesar itu langsung menimbulkan tanda tanya besar di benak Sherly.
“Saya sempat terkejut. Rp1,7 miliar? Untuk cuma mengidentifikasi jalan rusak? Itu bisa buat bangun 3 unit jembatan kecil, atau beli 50 unit mobil dinas baru,” ujar Sherly dalam sebuah video yang kemudian viral di media sosial.
Ia tak langsung menolak. Tapi ia juga tidak serta-merta menyetujui. Ia memilih pendekatan yang lebih cerdas — dan jauh lebih modern.
Solusi Cerdas: Sosial Media sebagai Alat Identifikasi Massal
Alih-alih menggelontorkan dana besar untuk tim survei, Sherly memutuskan untuk memanfaatkan kekuatan teknologi dan partisipasi publik. Dalam sebuah unggahan resmi di akun Instagram pribadinya @tante.rempong.official pada 14 September 2025, ia mengajak warga Maluku Utara untuk berperan aktif.
Dalam video berdurasi 3 menit 17 detik itu, ia menyampaikan pesan sederhana namun sangat kuat:
“Karena anggaran Rp1,7 miliar itu terlalu besar, saya putuskan: nggak usah pakai uang itu. Tunggu saja habis Lebaran. Saya akan bikin kampanye lewat medsos. Kalau ada jalan rusak, kirim foto, lokasi, dan deskripsi singkat. Saya janji, semua laporan akan saya tanggapi. Dan saya yakin, dalam waktu singkat, kita sudah punya data lengkap — tanpa satu rupiah pun dari APBD.”
Hasilnya? Luar biasa.
Dalam waktu kurang dari dua minggu, lebih dari 270 laporan masuk melalui DM Instagram, komentar di postingan, hingga pesan WhatsApp dari warga dari Ternate, Sofifi, Halmahera Barat, hingga Pulau Morotai. Laporan itu dilengkapi dengan foto jalan retak, lubang besar, jembatan ambles, hingga akses jalan yang terputus akibat longsor.
Tidak ada alat canggih. Tidak ada drone mahal. Tidak ada tim surveyor berpakaian seragam. Hanya ponsel pintar, koneksi internet, dan kepercayaan masyarakat kepada pemimpin yang jujur.
Data dari Rakyat, Solusi untuk Rakyat
Yang paling menarik, dari 270 laporan tersebut, ternyata hampir 80% adalah kondisi jalan yang belum tercatat dalam database Dinas PU. Artinya, sistem lama yang bergantung pada anggaran besar justru gagal mendeteksi masalah nyata di lapangan.
Sherly menjelaskan: “Ini bukan soal salah atau benar Dinas PU. Ini soal sistem. Sistem kita terlalu top-down. Padahal, rakyat hidup di jalan itu setiap hari. Mereka tahu mana yang rusak, mana yang butuh perbaikan segera. Jadi kenapa kita tidak dengar mereka?”
Ia lalu membentuk tim kecil yang bertugas mengklasifikasikan laporan berdasarkan urgensi: darurat (bisa menyebabkan kecelakaan), prioritas (mengganggu akses sekolah/puskesmas), dan normal (bisa ditunda). Hasilnya, 67 titik jalan rusak kini telah masuk dalam daftar perbaikan darurat tahun ini — dengan alokasi anggaran yang jauh lebih efisien, bahkan di bawah Rp100 juta.
Netizen Terpana: “Ini Gubernur yang Langsung Nyambung!”
Videonya yang diunggah ulang oleh akun @tante.rempong.official langsung menjadi viral. Ribuan komentar membanjiri kolom tanggapan. Banyak yang menyebutnya sebagai “governance model” baru di Indonesia.
Akun @lia_kdr menulis:
“Ibu luar biasa! Tapi hati-hati, jujur di Indonesia itu berisiko berat. Makin jujur, makin banyak lawan. Semoga Tuhan selalu melindungi Anda.”
@paulazinc menambahkan:
“Untuk masyarakat Maluku Utara: jagain ibu ini. Jangan sampai orang-orang yang tidak suka kejujuran mencoba menjatuhkannya. Orang seperti ini langka!”
Sementara itu, @cakribie memberikan komentar bernada politis:
“Saingannya berhasil menumbangkan suaminya, tapi ternyata gantinya sang istri juga. Jaga baik-baik ibu ini. Ia bukan sekadar pemimpin — ia simbol harapan.”
Bahkan akun-akun nasional seperti @infopublik.id dan @kompascom turut mengulas kisah ini sebagai contoh “pemimpin yang tidak hanya bicara, tapi bertindak dengan cara yang human-centered”.
Mengapa Ini Penting? Inovasi Tanpa Anggaran = Transformasi Nyata
Kisah Sherly Tjoanda bukan sekadar cerita lucu atau viral semata. Ini adalah pelajaran strategis tentang efisiensi anggaran publik, partisipasi warga dalam tata kelola pemerintahan, dan penggunaan teknologi sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar alat promosi.
Di era di mana banyak kepala daerah masih mengandalkan “proyek fisik” untuk menunjukkan prestasi — padahal sering kali hanya untuk foto-foto kampanye — Sherly memilih pendekatan yang jauh lebih substansial: mendengarkan, mempercayai, dan melibatkan rakyat.
Ia tidak membangun jalan baru. Ia membangun kepercayaan.
Ia tidak menghabiskan uang rakyat. Ia mengembalikan uang itu ke rakyat — dalam bentuk layanan yang lebih responsif dan transparan.
Dari Rp1,7 Miliar ke Rp0: Apakah Ini Bisa Ditiru?
Pertanyaan yang muncul kemudian: bisakah ini diterapkan di daerah lain?
Jawabannya: bisa — dan harus!