Siapa Suami dan Anak Sushila Karki Nenek 73 Tahun yang Diangkat oleh Gen Z sebagai PM Nepal, Benarkah Bukan dari Kalangan Orang Biasa?

Siapa Suami dan Anak Sushila Karki Nenek 73 Tahun yang Diangkat oleh Gen Z sebagai PM Nepal, Benarkah Bukan dari Kalangan Orang Biasa?

Sushila-Instagram-

Siapa Suami dan Anak Sushila Karki Nenek 73 Tahun yang Diangkat oleh Gen Z sebagai PM Nepal, Benarkah Bukan dari Kalangan Orang Biasa?
Di tengah hiruk-pikuk protes anti-korupsi yang membanjiri jalanan Kathmandu, sebuah revolusi politik tak terduga terjadi — bukan melalui kudeta, bukan pula melalui pemilu konvensional. Melainkan, di ruang digital: Discord, Telegram, dan Twitter. Di sanalah, ribuan anak muda Nepal memilih seorang nenek berusia 73 tahun sebagai pemimpin sementara negaranya. Namanya? Sushila Karki — perempuan pertama dalam sejarah Nepal yang menjadi Perdana Menteri interim, dan sekaligus simbol paling kuat dari kebangkitan politik generasi Z.

Dari Ruang Obrolan Digital ke Kantor PM: Revolusi yang Tak Terduga
Pada awal September 2025, Nepal dilanda gelombang unjuk rasa terbesar dalam satu dekade. Ratusan ribu remaja, mahasiswa, dan pekerja muda turun ke jalan, membawa spanduk bertuliskan: “Kami tidak butuh politisi tua. Kami butuh keadilan.” Mereka menuntut pengunduran diri PM KP Sharma Oli, yang dituding mengendalikan negara seperti kerajaan pribadi, menyalahgunakan anggaran, dan menghancurkan kebebasan pers.



Tapi yang membuat dunia terperangah bukan hanya jumlah massa — melainkan cara mereka memilih pengganti Oli.

Tanpa partai politik, tanpa kampanye televisi, tanpa uang suap atau janji kosong — para demonstran menggelar pemungutan suara digital kilat di server Discord bernama “We Nepali Group”. Dalam waktu 72 jam, lebih dari 187.000 pemuda memberikan suara. Hasilnya? Sushila Karki menang telak dengan 92% suara.

Bukan karena ia punya program ekonomi canggih. Bukan karena ia bisa berpidato viral di TikTok. Tapi karena ia adalah satu-satunya tokoh publik di Nepal yang tidak pernah berkhianat pada prinsipnya.


Siapa Sushila Karki? Bukan Sekadar Nenek Biasa
Sushila Karki bukanlah figur asing. Ia adalah legenda hidup peradilan Nepal. Pada 2016, ia menjadi perempuan pertama yang menjadi Ketua Mahkamah Agung Nepal — jabatan tertinggi dalam sistem hukum negara itu. Selama masa jabatannya, ia dikenal sebagai “Palu Keadilan” — sosok yang tak gentar menegakkan hukum, bahkan jika yang disidang adalah menteri, jenderal, atau sahabat lama.

Ia lahir pada 1952 di distrik Dhading, Nepal barat, dari keluarga petani sederhana. Ayahnya seorang guru sekolah dasar; ibunya penjahit rumahan. Dengan tekad baja, ia belajar sendiri di bawah lampu minyak saat listrik mati. Pada usia 23 tahun, ia lulus sebagai advokat di Biratnagar, kota kecil di timur Nepal, tempat ia mulai membela kaum miskin yang tak punya akses hukum.

Namun, jalan hidupnya berubah ketika ia melanjutkan studi ke India — ke Banaras Hindu University (BHU), Varanasi. Di sana, ia meraih gelar Master Ilmu Politik pada 1975. Bukan hanya ilmu hukum yang ia pelajari, tapi juga filosofi keadilan sosial, gerakan hak sipil, dan pentingnya transparansi dalam pemerintahan.

“BHU tidak hanya mengajarkan saya tentang undang-undang,” katanya dalam wawancara eksklusif dengan Himalayan Times. “Ia mengajarkan saya bahwa hukum bukan alat kekuasaan — tapi senjata bagi yang tak punya suara.”

Menghancurkan Mitos: Menteri Pun Bisa Dipenjara
Puncak keberanian Karki terlihat pada 2012, ketika ia memimpin sidang kasus korupsi besar-besaran di Kementerian Teknologi Informasi. Terdakwanya? Jay Prakash Gupta, menteri aktif yang diduga menyalahgunakan dana publik senilai 2,4 miliar rupee Nepal (sekitar Rp2,5 miliar) untuk proyek IT fiktif.

Sidang itu berlangsung selama 11 bulan. Media nasional sempat memojokkannya. Para pendukung Gupta menyebut Karki “terlalu emosional”, “terlalu feminin untuk menjadi hakim”, bahkan “tidak mengerti realitas politik”.

Tapi Karki tetap tenang. Ia meminta semua dokumen asli, memeriksa transaksi bank, mendengarkan kesaksian whistleblower, dan membiarkan proses hukum berjalan tanpa intervensi.

Hasilnya? Gupta divonis 12 tahun penjara. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Nepal, seorang menteri aktif dihukum karena korupsi.

Ketika media internasional bertanya bagaimana ia bisa bertahan di tengah tekanan politik, Karki menjawab dengan sederhana:

“Jika hukum tidak bisa menyentuh orang paling berkuasa, maka hukum itu hanyalah kertas. Dan kertas bisa dibakar. Tapi keadilan? Itu abadi.”

Dituduh “Terlalu Berani”, Justru Menjadi Legenda
Karena keberaniannya, Karki sering dikritik oleh elite politik. Pada 2017, koalisi parlemen yang dipimpin oleh partai Oli mencoba mengajukan mosi pemakzulan terhadapnya — dengan alasan “mengganggu keseimbangan kekuasaan” setelah ia membatalkan pengangkatan kepala polisi yang diduga terlibat skandal suap.

Tapi publik Nepal bersatu. Ribuan orang berkumpul di luar Mahkamah Agung, membawa tanda “#JusticeForSushila”. Mahasiswa membacakan puisi-puisi karya penyair Nepal terkenal, sambil menyalakan lilin sebagai simbol harapan.

Mosi pemakzulan gagal. Dan justru, citra Karki melesat. Ia menjadi ikon kejujuran di negara yang hampir kehilangan kepercayaan pada institusinya.

Generasi Z Memilihnya Bukan Karena Usia — Tapi Karena Integritas
Lalu, mengapa generasi Z — yang biasanya dianggap “apatis” atau “suka trend” — memilih seorang nenek 73 tahun?

Jawabannya sederhana: karena ia satu-satunya yang tidak berbohong.

Di era di mana politisi Nepal kerap berjanji “pembangunan” tapi malah membangun istana pribadi, Karki hidup di rumah sederhana di tepi sungai Bagmati. Ia masih menggunakan ponsel lama, membaca koran cetak, dan menulis catatan tangan di buku agenda berwarna coklat.

Anak-anak muda Nepal melihatnya bukan sebagai “nenek tua yang ketinggalan zaman”, tapi sebagai simbol otoritas moral yang belum ternoda.

Komunitas “We Nepali Group” — yang awalnya hanya grup obrolan 500 orang di Discord — berkembang menjadi gerakan nasional dengan lebih dari 2 juta anggota. Mereka tidak memilih Karki karena ia cantik, karena ia muda, atau karena ia bisa viral. Mereka memilihnya karena ia pernah menjatuhkan menteri korup — dan tetap hidup.

“Kami tidak ingin presiden baru. Kami ingin sistem baru,” tulis salah satu anggota grup, Anjali Thapa, 21, mahasiswa hukum di Universitas Tribhuvan. “Karki bukan pemimpin politik. Ia adalah penjaga konstitusi. Dan kami percaya, konstitusi lebih kuat daripada siapa pun.”

Misi Sushila Karki: Menyelamatkan Nepal Sebelum Pemilu 2026
Sejak dilantik sebagai Perdana Menteri interim pada 10 September 2025, Karki langsung bekerja tanpa istirahat. Ia membentuk Tim Transisi Kejujuran (Truth & Transition Task Force) yang terdiri dari akademisi, aktivis, jaksa independen, dan perwakilan pemuda.

Beberapa langkah drastis sudah ia ambil:

Membekukan semua proyek infrastruktur yang tidak memiliki audit publik.
Membuka arsip rahasia pemerintah selama 15 tahun terakhir untuk publik.
Menghapus semua tunjangan mewah bagi pejabat tinggi — termasuk mobil mewah dan liburan resmi.
Meluncurkan platform digital “Nepal Watch” di mana warga bisa melaporkan korupsi secara anonim, dengan hadiah uang tunai jika laporan terbukti.
Ia juga menjanjikan pemilu demokratis yang benar-benar bebas dan adil pada 5 Maret 2026 — dengan sistem pemungutan suara berbasis blockchain agar tidak ada kecurangan.

“Saya bukan ingin jadi PM,” katanya dalam pidato pertamanya di Parlemen. “Saya hanya ingin Nepal kembali menjadi negara yang dihormati — bukan karena gunungnya, tapi karena keadilannya.”

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya