Menkeu Tegur BNPB: Dana Triliunan Mengendap, Tapi Bantuan ke Lapangan Hanya Makanan! – Polemik Penyaluran Bantuan Pascabencana di Sumatera
Purabaya-Instagram-
Refleksi Akhir Tahun: Efisiensi vs Kemanusiaan
Menjelang akhir tahun 2025, polemik ini menjadi cerminan penting tentang tantangan sistemik dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah ingin memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Di sisi lain, kecepatan respons sangat menentukan nyawa dan pemulihan masyarakat terdampak.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Lina Marwati, mengatakan bahwa “mekanisme satu pintu memang ideal secara teori, tetapi dalam praktik darurat, fleksibilitas menjadi kunci. Jika prosedur menghambat bantuan dasar seperti alat berat atau logistik non-makanan, maka sistem perlu dievaluasi ulang.”
Masyarakat, terutama warga di wilayah rawan bencana Sumatera, berharap insiden ini menjadi momentum untuk reformasi birokrasi—sehingga dana bantuan tidak hanya “tersimpan rapi di kertas,” tetapi benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat yang sedang berjuang bangkit dari reruntuhan.
Penutup: “Dana Ada, Tapi Tak Sampai” – Sebuah Ironi yang Harus Diakhiri
Pernyataan Purbaya Yudhi Sadewa di penghujung tahun ini bukan sekadar sindiran ringan. Ia adalah cerminan dari krisis koordinasi yang berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap sistem penanggulangan bencana nasional. Dengan Rp1,51 triliun masih mengendap di rekening negara, sementara prajurit TNI membangun jembatan dengan dana swadaya, pertanyaan besar pun muncul: Siapa yang sebenarnya “pelit”—lembaga atau sistem?
Yang jelas, di tengah musim bencana yang kian tidak menentu akibat perubahan iklim, Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar anggaran. Ia butuh kecepatan, empati, dan kolaborasi tanpa ego sektoral.