Siapa Muhammad Yasin? Anggota Ormas Madas yang Kini jadi Tersangka Kasus Pengusiran Paksa Nenek Elina di Surabaya

Siapa Muhammad Yasin? Anggota Ormas Madas yang Kini jadi Tersangka Kasus Pengusiran Paksa Nenek Elina di Surabaya

Yasin-Instagram-

Siapa Muhammad Yasin? Anggota Ormas Madas yang Kini jadi Tersangka Kasus Pengusiran Paksa Nenek Elina di Surabaya

Nama Muhammad Yasin tiba-tiba menjadi sorotan publik setelah terlibat dalam kasus pengusiran paksa dan perobohan rumah Nenek Elina di Surabaya, Jawa Timur. Bersama Samuel—pria yang mengaku telah membeli rumah tersebut sejak 2014—Yasin kini ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim. Keduanya terancam hukuman penjara hingga 5 tahun 6 bulan berdasarkan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kekerasan terhadap orang atau barang.



Kasus ini menjadi viral setelah sebuah video menunjukkan momen pengusiran Nenek Elina beredar luas di media sosial. Dalam rekaman tersebut, tampak sekelompok orang—termasuk seorang pria berbaju merah bertuliskan “Madura Asli (MADAS)”—mengintimidasi dan memaksa perempuan lanjut usia itu meninggalkan rumahnya yang telah ditempati selama puluhan tahun. Adegan tersebut memicu kemarahan publik dan sorotan nasional terhadap praktik penggusuran paksa di wilayah perkotaan.

Siapa Sebenarnya Muhammad Yasin?
Muhammad Yasin, yang dalam video itu terlihat mengenakan seragam ormas Madas, belakangan mengklaim bahwa kehadirannya saat kejadian murni dalam kapasitas pribadi. Ia menyatakan tidak mewakili organisasi mana pun, meski mengakui dirinya memang terdaftar sebagai anggota MADAS sejak Oktober 2025—hanya dua bulan sebelum insiden tersebut terjadi.

“Saya siap mengambil langkah-langkah pertanggungjawaban dalam proses ke depannya. Saya tidak akan ke mana-mana dan memiliki itikad baik,” ujar Yasin dalam video klarifikasi yang beredar pada Selasa, 30 Desember 2025.


Dalam video tersebut, Yasin juga mengaku pernah menjabat sebagai Sekretaris Ormas MADAS, namun telah mengajukan cuti dari jabatannya sejak Jumat, 26 Desember 2025—tepat tiga hari sebelum kasus pengusiran mencuat ke publik. Ia menegaskan bahwa tindakannya di lokasi bukan atas nama organisasi, melainkan sebagai “mediator” yang diminta membantu rekannya, Samuel.

Namun, pernyataan itu langsung dibantah oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) MADAS, Moh Taufik. Meski mengakui Yasin adalah anggota resmi MADAS sejak Oktober 2025, Taufik menegaskan bahwa kelompok yang terlibat dalam pengusiran Nenek Elina bukanlah anggota MADAS yang sah. Menurutnya, ormas tersebut tidak pernah memberikan mandat atau instruksi apa pun terkait aksi tersebut.

“Yang terlibat dalam video itu bukan anggota MADAS. Kami tidak tahu siapa orang-orang di sana. Tapi yang jelas, M. Yasin memang anggota kami, meski baru bergabung,” tegas Taufik.

Samuel: Pengaku Pemilik Baru Rumah Nenek Elina
Kasus ini bermula ketika Samuel mengklaim telah membeli rumah milik Nenek Elina dari seseorang bernama Elisa pada tahun 2014. Namun, hingga kini belum ada bukti resmi yang menunjukkan kepemilikan sah atas properti tersebut, apalagi izin eksekusi paksa atau perintah pengadilan untuk menggusur penghuni lama.

Tanpa prosedur hukum yang jelas, tindakan Samuel—didukung oleh Yasin dan sejumlah orang lain—dianggap sebagai pelanggaran hukum dan HAM, terutama karena korban adalah lansia yang rentan secara sosial dan ekonomi. Di mata masyarakat, aksi ini bukan sekadar sengketa tanah, melainkan simbol ketimpangan kekuasaan antara pemilik modal dan warga biasa.

Ancaman Hukuman dan Respons Penegak Hukum
Kepada wartawan pada Senin, 29 Desember 2025, Dirreskrimum Polda Jatim Kombes Pol Widi Atmoko menegaskan bahwa Samuel dan Muhammad Yasin telah ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya diduga melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang dan barang, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP.

“Mereka sudah kami tangkap dan saat ini menjalani pemeriksaan intensif. Proses hukum akan berjalan transparan dan adil,” ujar Widi.

Pasal 170 KUHP sendiri mengatur bahwa pelaku kekerasan kolektif terhadap orang atau barang dapat dihukum penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Jika terbukti bersalah, kedua tersangka bisa menghadapi masa hukuman maksimal tersebut, terutama mengingat dampak emosional dan psikologis yang dialami Nenek Elina.

Respons Sosial dan Desakan untuk Keadilan
Insiden ini memicu gelombang solidaritas nasional. Warganet membanjiri media sosial dengan tagar #BelaNenekElina dan #HentikanPenggusuranPaksa. Sejumlah lembaga HAM, aktivis urban, dan tokoh masyarakat juga menuntut agar kasus ini diusut tuntas dan pelaku dihukum sesuai hukum yang berlaku.

Yang menjadi perhatian publik bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga etika sosial dan perlindungan terhadap warga rentan. Banyak pihak menilai bahwa kejadian di Surabaya ini mencerminkan krisis keadilan ruang hidup di tengah pesatnya urbanisasi dan spekulasi properti.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya