Wisata Medis ke Chongqing: Ketika Pelayanan Unggul Lebih Berharga Daripada Kemewahan Fasilitas
china-pixabay-
Wisata Medis ke Chongqing: Ketika Pelayanan Unggul Lebih Berharga Daripada Kemewahan Fasilitas
Di tengah hiruk-pikuk wisata medis global yang kerap menonjolkan interior mewah, teknologi canggih, dan fasilitas hotel bintang lima, sebuah rumah sakit di kota Chongqing, China, justru menawarkan pengalaman yang berbeda: kesederhanaan yang justru memancarkan kualitas pelayanan luar biasa.
Selama hampir dua minggu—tepatnya dari 24 November hingga 7 Desember 2025—saya berkesempatan menjalani perawatan di sebuah rumah sakit universitas di Chongqing. Kunjungan ini terjadi dalam rangkaian rombongan wisata medis yang diinisiasi dan disponsori oleh Bapak AM Hendropriyono, mantan Kepala BIN yang dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kesehatan. Beliau tidak hanya memberikan izin, tetapi juga secara langsung mengunjungi saya selama masa perawatan, bahkan memantau kondisi saya day by day.
Fasilitas Sederhana, Etos Kerja Luar Biasa
Begitu memasuki rumah sakit tersebut, kesan pertama yang muncul adalah kesan kesederhanaan—bahkan bisa dibilang jauh dari kemewahan. Bangunan setinggi 30 lantai itu memang megah secara struktur, namun dari segi interior, hampir tidak ada unsur kemewahan yang terlihat. Ruang rawat inap, ruang dokter, hingga area perawat disusun dengan perabotan fungsional namun sederhana: meja kerja biasa, tempat tidur pasien standar, almari tanpa hiasan, dan nakas minimalis. Bahkan dibandingkan dengan sejumlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Indonesia, tampilan fisik rumah sakit ini terasa lebih “apa adanya”.
Namun, jangan salah sangka. Justru di balik kesederhanaan inilah keunggulan sesungguhnya terletak.
Standar Kebersihan dan Disiplin yang Mengagumkan
Salah satu hal paling mencolok adalah komitmen terhadap kebersihan dan kerapian. Pukul 06.30 pagi—sekitar satu jam setelah waktu Subuh di Chongqing—para petugas kebersihan telah sibuk menyapu dan mengepel seluruh lantai rumah sakit. Tidak ada sudut yang terlewat. Lantai mengilap, udara segar, dan suasana tenang menciptakan lingkungan yang sangat kondusif untuk pemulihan.
Tak lama setelah itu, para perawat dan tenaga medis mulai mendatangi pasien rawat inap. Mereka melakukan pengukuran tekanan darah, gula darah, hingga terapi harian—semua dilakukan dengan presisi dan kelembutan. Yang menarik, pelayanan dimulai sejak fajar menyingsing, menunjukkan dedikasi yang luar biasa dari seluruh staf medis.
Seragam Sederhana, Pelayanan Maksimal
Setiap hari, dokter, perawat, dan tenaga pendukung tampil dengan seragam sederhana sesuai bidang masing-masing. Tidak ada atribut berlebihan, tidak ada tanda jabatan yang mencolok—namun kinerja mereka tak perlu diragukan. Para dokter muda, yang rata-rata berusia di bawah 35 tahun, bekerja dengan cekatan, teliti, dan penuh tanggung jawab.
Mereka melakukan kunjungan rutin beberapa kali sehari, dari pagi hingga malam hari, bahkan menjelang pagi lagi. Terapi diberikan secara konsisten, baik siang maupun malam, menggunakan teknologi yang memang sederhana namun efektif. Misalnya, untuk pengeringan luka pascaoperasi, digunakan alat semacam “oven hangat” berukuran kecil yang diletakkan sekitar 30 cm di atas area luka. Proses ini berlangsung sekitar 20 menit, dilakukan dua kali sehari—pagi dan sore—dan terbukti mempercepat penyembuhan.
Untuk terapi punggung, digunakan sikat berbentuk bulat berdiameter sekitar 7,5 cm yang diputar perlahan di sepanjang punggung pasien selama 20 menit. Sensasinya seperti dipijat oleh tukang urut profesional—relaksasi yang sangat dibutuhkan pasien yang lama terbaring.
Pujian dari Pasien dan Pendamping
Bapak AM Hendropriyono, yang sempat mengamati secara langsung sistem pelayanan rumah sakit ini, memberikan komentar yang mewakili banyak perasaan pasien:
“Tampang rumah sakitnya kumel, tapi kualitasnya sangat meyakinkan. Sungguh mengagumkan.”
Kesan serupa juga disampaikan oleh Darmawan, pria keturunan Tionghoa berusia 77 tahun yang lahir dan besar di kawasan Angke, Jakarta Utara. Ia telah dua kali menjalani operasi di rumah sakit ini.
“Selain murah, penanganannya sangat serius. Dokternya muda-muda, tapi bekerja dengan sungguh-sungguh,” katanya.
Menariknya, Darmawan datang sendirian ke Chongqing setiap kali berobat—tanpa keluarga atau pendamping tetap—namun merasa aman dan nyaman berkat pelayanan yang konsisten dan humanis.
Teknologi Cerdas, Hasil Cepat
Di balik kesan “sederhana”, rumah sakit ini justru menggunakan sistem digital yang sangat efisien. Sebagai contoh, ketika pasien menjalani pemeriksaan jantung, hasilnya sudah bisa diakses dalam waktu kurang dari satu jam melalui terminal komputer yang tersedia di lantai rawat inap. Pasien bahkan bisa mencetak hasilnya sendiri di tempat—tanpa antre atau menunggu lama.
Namun, ada satu tantangan utama: bahasa.
Hambatan Bahasa, Solusi dengan AI dan Empati
Seluruh komunikasi di rumah sakit ini dilakukan dalam bahasa Mandarin. Informasi di layar, dokumen medis, hingga tagihan rumah sakit—semuanya beraksara China. Sebagian besar perawat tidak bisa berbahasa Inggris, hanya beberapa dokter senior yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, meski terbata-bata.
Untungnya, saya didampingi oleh Herdi, seorang pemandu wisata (tour guide) yang fasih berbahasa Mandarin. Bagi pasien asing lainnya, disarankan membawa penerjemah atau mengandalkan aplikasi terjemahan berbasis kecerdasan buatan (AI) di ponsel. Namun, seperti yang saya alami, terjemahan AI kadang kurang akurat—sehingga komunikasi nonverbal, bahasa isyarat, dan ekspresi wajah menjadi jembatan penting.
Yang patut diapresiasi adalah keramahan universal dari seluruh staf. Senyum, sikap sabar, dan gestur tubuh mereka mencerminkan empati yang tulus—tanpa memandang asal pasien.