Apa Penyebab Kim Young Dae Meninggal Dunia? Inilah Kronologi Kematian Kritikus Musik Legendaris Korsel, Benarkah Akibat Bundir?

Apa Penyebab Kim Young Dae Meninggal Dunia? Inilah Kronologi Kematian Kritikus Musik Legendaris Korsel, Benarkah Akibat Bundir?

Kim-Instagram-

Apa Penyebab Kim Young Dae Meninggal Dunia? Inilah Kronologi Kematian Kritikus Musik Legendaris Korsel, Benarkah Akibat Bundir? di Usia 48 Tahun pada 24 Desember 2025

Dunia musik dan akademisi Korea Selatan berduka. Kim Young Dae, kritikus musik ternama yang dikenal karena wawasannya yang mendalam dan komitmennya terhadap pelestarian warisan budaya suara, meninggal dunia pada usia 48 tahun. Kepergiannya yang mendadak pada malam Natal, 24 Desember 2025, menyisakan luka mendalam bagi keluarga, rekan kerja, mahasiswa, serta para penggemar yang selama ini mengikuti pemikirannya melalui tulisan, kuliah umum, dan kolom budaya.



Pihak keluarga secara resmi mengumumkan kabar duka tersebut pada 25 Desember 2025. Upacara pemakaman digelar secara tertutup pada 27 Desember di Chung Ang University Hospital Funeral Hall, Seoul, dengan dihadiri oleh kolega dekat, akademisi, seniman, hingga pejabat dari institusi budaya nasional. Suasana haru menyelimuti perpisahan terakhir dengan sosok yang dianggap sebagai jembatan antara tradisi musik Korea dan diskursus global tentang etnomusikologi.

Awal Kehidupan dan Pendidikan yang Menginspirasi
Kim Young Dae lahir di Korea Selatan pada tahun 1977, tumbuh di tengah transformasi budaya yang pesat pasca krisis ekonomi Asia. Sejak muda, ia menunjukkan ketertarikan luar biasa terhadap musik—bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai cerminan identitas, sejarah, dan perlawanan sosial. Minat tersebut membawanya ke bangku kuliah di Yonsei University, salah satu universitas paling prestisius di Korea, di mana ia menempuh studi di jurusan Administrasi Bisnis.

Namun, jiwanya yang artistik tak puas hanya dengan angka dan laporan keuangan. Di tengah masa kuliah, Kim Young Dae aktif menulis esai tentang musik tradisional Korea, terutama gugak dan pansori, di majalah kampus. Tulisannya yang kritis namun penuh empati mulai menarik perhatian para akademisi senior.


Ketertarikannya yang mendalam pada hubungan antara musik dan masyarakat mendorongnya untuk mengejar studi lanjutan di luar negeri. Ia pun melanjutkan pendidikan ke University of Washington, Amerika Serikat, di mana ia berhasil meraih gelar Ph.D. dalam bidang Etnomusikologi—studi tentang musik dalam konteks budaya dan sosial. Di sana, Kim Young Dae dikenal sebagai mahasiswa yang tekun, sering menghabiskan waktu di arsip musik atau melakukan riset lapangan di komunitas imigran Korea di Seattle.

Peran sebagai Kritikus Musik dan Penghubung Budaya
Setelah kembali ke Korea Selatan, Kim Young Dae tidak langsung masuk ke dunia akademik formal. Ia memilih menjadi kritikus musik independen, menulis untuk berbagai media nasional seperti JoongAng Ilbo, Hankyoreh, dan The Korea Times. Kolomnya—yang diberi judul "Suara yang Tak Tergantikan"—menjadi bacaan wajib bagi pecinta musik yang ingin memahami makna di balik setiap not.

Ia dikenal karena kemampuannya membedah lagu pop Korea kontemporer sambil menelusuri akar-akar tradisionalnya. Dalam satu esai terkenal tahun 2021, ia mengaitkan melodi dalam lagu BTS dengan struktur melodi Gyeonggi minyo, lagu rakyat dari wilayah Seoul. Pendekatannya yang inklusif—menghormati baik musik tradisional maupun kontemporer—membuatnya dihormati lintas generasi.

Selain itu, Kim Young Dae aktif menjadi kurator di festival musik internasional, termasuk Seoul Music Week dan Asia Pacific Traditional Arts Festival. Ia juga sering menjadi pembicara tamu di universitas-universitas di Eropa dan Asia, membawa narasi musik Korea ke panggung global.

Warisan Intelektual dan Dampak Sosial
Meski bukan seorang musisi, Kim Young Dae dianggap sebagai “arkeolog suara” oleh banyak rekan sejawatnya. Ia percaya bahwa setiap lagu adalah dokumen sejarah yang hidup. Dalam wawancara terakhirnya dengan Culture Today pada November 2025, ia berkata:

“Musik bukan sekadar hiburan. Ia adalah arsip perasaan kolektif, tempat sebuah bangsa menyimpan harapan, luka, dan impiannya.”

Pemikirannya turut memengaruhi kebijakan pelestarian budaya di Korea Selatan. Ia pernah menyarankan agar pemerintah memperluas definisi “musik tradisional” agar mencakup bentuk-bentuk hybrid modern yang tetap mempertahankan elemen lokal. Gagasannya ini kini sedang dikaji oleh Kementerian Kebudayaan.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya