KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi IUP Konawe Utara Senilai Rp2,7 Triliun: Alat Bukti Dinilai Tidak Cukup
uang-pixabay-
KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi IUP Konawe Utara Senilai Rp2,7 Triliun: Alat Bukti Dinilai Tidak Cukup
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menghentikan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kasus yang sempat mengguncang dunia pertambangan nasional ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp2,7 triliun, namun akhirnya tidak dilanjutkan ke persidangan karena minimnya bukti yang memadai.
Melalui keterangan tertulis yang dirilis pada Jumat (26/12/2025), Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengonfirmasi bahwa lembaga antirasuah tersebut telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk perkara tersebut. Langkah ini diambil setelah melalui proses evaluasi mendalam selama tahap penyidikan.
“Benar, KPK telah menerbitkan SP3 dalam perkara tersebut,” ujar Budi Prasetyo.
Kasus Lama yang Tak Kunjung Terbukti
Kasus yang berakar pada tahun 2009 ini sebelumnya menyeret nama Aswad Sulaiman, mantan Bupati Konawe Utara periode 2007–2009. Pada 3 Oktober 2017, KPK menetapkan Aswad sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di wilayahnya. Dugaan korupsi tersebut mencakup penerbitan Izin Kuasa Pertambangan (IKP) eksplorasi dan eksploitasi, serta IUP operasi produksi nikel selama rentang waktu 2007 hingga 2014.
Menurut penyidik KPK, tindakan Aswad diduga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp2,7 triliun—angka yang berasal dari hasil penjualan nikel yang diperoleh melalui proses perizinan yang dianggap melanggar hukum. Selain itu, Aswad juga disangka menerima suap senilai Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan permohonan izin pertambangan kepada Pemerintah Kabupaten Konawe Utara.
Namun, setelah lebih dari delapan tahun berjalan, KPK menyatakan bahwa tidak ditemukan alat bukti yang cukup untuk membawa kasus ini ke pengadilan.
“Tempus delikti perkaranya adalah tahun 2009. Setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan, tidak ditemukan kecukupan bukti,” jelas Budi Prasetyo.
SP3 Diterbitkan demi Kepastian Hukum
Meski terkesan menghentikan upaya penegakan hukum, KPK menegaskan bahwa penerbitan SP3 dalam kasus ini justru bertujuan memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat. Keputusan ini juga sejalan dengan prinsip hukum acara pidana bahwa tanpa bukti yang cukup, proses hukum tidak boleh dipaksakan.
“KPK berkomitmen menegakkan hukum secara adil dan proporsional. Jika tidak ada bukti yang memadai, maka tidak ada alasan untuk mempertahankan proses hukum yang berlarut-larut,” tambah Budi.
Namun, KPK tetap membuka pintu lebar bagi masyarakat yang memiliki informasi baru terkait perkara ini. Jika ada bukti-bukti tambahan yang relevan dan kredibel, lembaga antirasuah tersebut siap meninjau kembali kasus ini.
“Kami terbuka jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” ujarnya.
Publik Menanti Transparansi Penuh
Keputusan KPK untuk menghentikan penyidikan ini menuai beragam respons. Di satu sisi, ada yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk profesionalisme lembaga dalam memegang prinsip pembuktian yang ketat. Namun, di sisi lain, sebagian pihak mempertanyakan mengapa kasus sebesar Rp2,7 triliun—yang sempat menjadi sorotan nasional—akhirnya tidak bisa dibuktikan meski telah melalui tahap penyidikan selama bertahun-tahun.
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Lina Marlina, menyatakan bahwa “Kasus ini menjadi ujian kredibilitas KPK dalam menangani kasus korupsi bernilai besar, terutama yang melibatkan kebijakan daerah dan sektor strategis seperti pertambangan.”
Sementara itu, aktivis lingkungan dan HAM di Sulawesi Tenggara mengingatkan bahwa dampak dari praktik perizinan pertambangan ilegal tidak hanya berupa kerugian finansial, tetapi juga kerusakan ekologis jangka panjang yang sulit dipulihkan.
Baca juga: Profil Sosok Ibu-Ibu yang Coba Jarah Minimarket di Aceh Kini Tuai Kecaman, Benarkah Suruhan Oknum?