Profil Tampang Cicilia Tanujaya Selebgram dan Pemilik Bakery Moucup yang Protes ke Pihak Rumah di Surabaya Diduga Malpraktik Hingga Sang Ayah Meninggal Dunia
Mouncup-Instagram-
Profil Tampang Cicilia Tanujaya Selebgram dan Pemilik Bakery Moucup yang Protes ke Pihak Rumah di Surabaya Diduga Malpraktik Hingga Sang Ayah Meninggal Dunia
Sebuah kisah menyayat hati memicu kemarahan publik setelah seorang putri pengusaha bakery di Surabaya mengekspos dugaan kelalaian medis yang berujung pada kematian sang ayah. Melalui unggahan viral di media sosial, Cicilia Tanujaya membeberkan kronologi panjang yang dimulai dari gejala flu biasa hingga diagnosis paru-paru “tenggelam” yang terlambat dideteksi—semua terjadi di bawah pengawasan seorang dokter yang disebutnya bernama “Dokter H” di sebuah rumah sakit ternama di Surabaya.
Kasus ini bukan hanya soal kegagalan diagnosis, tetapi juga menyoroti dinamika komunikasi antara tenaga medis dan keluarga pasien—sebuah isu sensitif yang kerap menjadi akar konflik dalam dunia pelayanan kesehatan di Indonesia.
Awal Mula: Flu Biasa yang Berubah Jadi Tragedi
Menurut Cicilia, sang ayah awalnya mengalami gejala flu ringan seperti batuk, pilek, dan sedikit demam—keluhan yang sering dianggap sepele oleh banyak orang. Namun, karena kondisi tubuh ayahnya yang mulai terlihat lemas dan tidak stabil, keluarga memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut, termasuk tes darah.
Hasil tes menunjukkan adanya peradangan dalam tubuh. Tim medis pun merekomendasikan rawat inap dan serangkaian pemeriksaan lanjutan. Namun, di sinilah masalah mulai muncul.
Minimnya Tindak Lanjut dan Komunikasi yang Buruk
Cicilia menyebut bahwa selama lima hari dirawat, sang ayah nyaris tidak mendapatkan kunjungan atau pengecekan rutin dari Dokter H. Padahal, kondisi pasien tidak menunjukkan perbaikan signifikan. Justru, pada hari kelima rawat inap, pihak rumah sakit—melalui sang dokter—meminta keluarga untuk memulangkan pasien dengan alasan “sudah sehat”.
“Padahal, ayah masih demam, tubuhnya lemas, dan bahkan sempat berjalan sempoyongan,” ungkap Cicilia dalam unggahannya yang kini telah dibagikan ribuan kali.
Lebih memilukan, menurut Cicilia, dokter tersebut justru menyalahkan ibunya karena “tidak melaporkan dengan detail” gejala yang dialami sang ayah. Dalam unggahannya, ia menulis dengan nada penuh kekecewaan:
“Kamu salahkan mama tanggal 28 November. Kenapa mama cuma bilang kalau papa jalannya oleng dan lemas? Kamu salahkan mama, kenapa nggak bilang kalau papa masih demam?!”
Kesalahan Fatal atau Kelalaian Sistemik?
Pertanyaan besar pun muncul: apakah ini murni kelalaian individu, atau cerminan dari sistem layanan kesehatan yang terlalu terburu-buru dan kurang empati?
Cicilia juga mempertanyakan logika medis yang digunakan Dokter H. Saat kondisi ayahnya belum membaik, sang dokter justru menyarankan terapi non-medis seperti “minta suster buka gorden biar matahari masuk” dan menyarankan terapi jalan—tanpa memerintahkan pemeriksaan lanjutan seperti rontgen atau CT scan.
“Mungkin Anda lupa, Dok. Anda bilang ke Papa: ‘Panggil terapi aja, suruh suster buka gorden supaya matahari masuk.’ Tapi suster nggak lapor apa-apa, jadi salahnya suster dan mama?” tanya Cicilia, mengecam sikap menyalahkan pihak lain yang menurutnya menghindari tanggung jawab medis.
Diagnosis Terlambat: Paru-paru ‘Tenggelam’
Setelah keputusan memulangkan pasien, keluarga Cicilia segera membawa sang ayah ke rumah sakit lain untuk second opinion. Di sana, hasil rontgen thorax menunjukkan kondisi yang mengerikan: paru-paru sang ayah sudah ‘tenggelam’—istilah awam yang kerap merujuk pada efusi pleura atau akumulasi cairan berlebih di rongga paru-paru, yang bisa menyebabkan sesak napas berat hingga gagal napas jika tidak ditangani segera.
“Kelihatan sudah kamu anggap sakit Papa enteng!!! Padahal tanggal 29, hasil foto thorax di RS lain menunjukkan paru-paru Papa sudah tenggelam, Dok. Kok masih ngeyel?” tulis Cicilia dengan nada marah bercampur sedih.
Sayangnya, kondisi tersebut terlambat ditangani. Beberapa waktu setelah rujukan ke rumah sakit kedua, sang ayah meninggal dunia—meninggalkan keluarga yang masih berusaha mencari keadilan dan klarifikasi.