Khutbah Jumat 26 Desember 2025: Menggali Hikmah Istigfar sebagai Penyucian Jiwa dan Pembuka Pintu Rezeki bagi Umat Muslim
masjid-pixabay-
Khutbah Jumat 26 Desember 2025: Menggali Hikmah Istigfar sebagai Penyucian Jiwa dan Pembuka Pintu Rezeki bagi Umat Muslim
Tangerang, 26 Desember 2025 — Di penghujung tahun 2025, umat Islam di seluruh penjuru Tanah Air kembali berkumpul dalam suasana khidmat menyambut hari suci Jumat. Tepat pada Jumat terakhir bulan Desember ini, 26 Desember 2025, para jamaah di Masjid-masjid Kota Tangerang dan sekitarnya mendengarkan khutbah bertema “Keutamaan Istigfar dalam Kehidupan Seorang Muslim” yang disampaikan dengan penuh kehikmatan oleh KH Arif Hidayat, Ketua I Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Padarincang.
Khutbah ini bukan sekadar nasihat rutin, melainkan sebuah panggilan spiritual untuk menyadari keterbatasan manusia sekaligus membuka pintu rahmat Allah SWT melalui praktik istigfar yang tulus dan berkelanjutan.
Manusia dan Dosa: Hubungan yang Tak Terhindarkan
Dalam khutbahnya, KH Arif Hidayat menegaskan satu realitas yang tak bisa dielakkan: tidak ada manusia yang luput dari dosa. Sejak terbit fajar hingga matahari tenggelam, tak sedikit perbuatan, ucapan, atau bahkan pikiran yang tanpa sadar menjauhkan kita dari ridha Ilahi.
"Boleh jadi, sebelum kita berangkat ke masjid untuk menunaikan salat Jumat, kita telah menyakiti hati orang lain melalui ucapan yang keras atau sikap yang tak sabar," ujarnya. Beliau melanjutkan, "Bahkan saat kita asyik menyusuri linimasa media sosial, tanpa sadar kita terjebak dalam pandangan yang mengundang dosa. Atau, mungkin saat berjalan menuju masjid, hati kita terselip rasa sombong: ‘Lihat, aku hamba yang rajin beribadah!’"
Pernyataan ini menjadi cermin bagi setiap jamaah: betapa rapuhnya benteng iman kita di tengah hiruk-pikuk dunia modern.
Istigfar Bukan Sekadar Ucapan, Tapi Transformasi Batin
KH Arif Hidayat menekankan bahwa taubat dan istigfar bukan hanya ritual lisan, melainkan proses internal yang melibatkan kesadaran, penyesalan, dan komitmen untuk berubah.
Beliau mengutip perkataan ulama besar Fudhail bin Iyadh:
"Istighfar tanpa meninggalkan dosa itulah taubatnya para pendusta."
Kalimat ini menggugah jiwa: berapa sering kita mengucap “astaghfirullah” tanpa benar-benar berhenti dari perbuatan yang sama? Istigfar yang tulus harus diikuti oleh tindakan konkret—meninggalkan dosa, memperbaiki hubungan yang rusak, dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Menariknya, ada pula ungkapan bijak dari para salaf:
"Istighfar kita membutuhkan istighfar lagi."
Ini menunjukkan betapa mendalamnya kesadaran akan kekurangan diri—bahkan dalam proses memohon ampun sekalipun.
Tiga Syarat Taubat Menurut Ulama Ahli Fikih
Merujuk pada penjelasan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in, KH Arif Hidayat menyampaikan tiga pilar utama taubat yang harus dipenuhi agar diterima Allah SWT:
Penyesalan yang tulus — bukan karena takut kehilangan harta atau reputasi, melainkan karena menyadari bahwa perbuatan tersebut melanggar hak Allah.
Segera berhenti dari dosa — tidak ada ruang untuk penundaan. Jika dosa dilanjutkan, taubat menjadi sia-sia.
Niat kuat untuk tidak mengulangi — komitmen seumur hidup untuk menjauhi perbuatan tersebut.
Beliau menambahkan, jika seseorang benar-benar tidak mampu mengulangi dosa karena kondisi fisik atau situasional (misalnya, karena sudah tiada peluang atau kemampuan), maka syarat ketiga ini bisa gugur. Namun, hal itu tidak mengurangi pentingnya niat tulus dalam proses taubat.
Dosa Terhadap Sesama: Belum Lengkap Tanpa Restitusi
KH Arif Hidayat juga mengingatkan jamaah tentang satu aspek penting yang kerap dilupakan: dosa terhadap hak manusia.
“Jika dosa yang kita lakukan melibatkan hak orang lain—entah berupa harta, kehormatan, atau harga diri—maka taubat kita belum sempurna sebelum kita meminta maaf atau mengembalikan hak tersebut,” tegasnya.
Dalam konteks kehidupan sosial yang semakin kompleks, hal ini menjadi sangat relevan. Banyak orang merasa cukup dengan memohon ampun kepada Allah, padahal jika mereka pernah menyebar gosip, menelantarkan tanggung jawab, atau merugikan orang lain secara finansial, mereka wajib memperbaiki hubungan tersebut secara langsung.
Istigfar: Kunci Rezeki, Jalan Keluar, dan Ketenangan Hati
Salah satu pesan paling menggugah dalam khutbah ini adalah penekanan pada manfaat duniawi dan ukhrawi dari memperbanyak istigfar.
Rasulullah SAW, sang teladan umat, dikisahkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari:
"Demi Allah, sungguh aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali."
Dalam riwayat lain dari An-Nasa’i, beliau bersabda:
"Tidaklah aku berada di pagi hari kecuali aku beristighfar kepada Allah sebanyak 100 kali."
Lebih dari itu, istigfar bukan hanya alat pembersih jiwa, tapi juga pembuka pintu rezeki dan jalan keluar dari kesulitan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad:
"Barang siapa yang memperbanyak istighfar, maka Allah akan memberinya kelapangan dari setiap kesedihan, jalan keluar dari setiap kesempitan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka."
Pernyataan ini memberikan harapan sekaligus motivasi: di tengah himpitan ekonomi, kecemasan global, atau krisis pribadi, istigfar bisa menjadi senjata spiritual yang ampuh.
Taubat: Jalan Pulang kepada Kasih Sayang Ilahi
KH Arif Hidayat menutup khutbahnya dengan mengingatkan bahwa Allah SWT tidak menuntut kesempurnaan, melainkan kesadaran dan kerendahan hati.
“Yang Allah minta bukan manusia tanpa dosa, tetapi hamba yang sadar akan kesalahannya dan segera kembali kepada-Nya,” katanya.