Bolehkah Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal? Ini Penjelasan Ulama dari Berbagai Perspektif

Bolehkah Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal? Ini Penjelasan Ulama dari Berbagai Perspektif

natal-pixabay-

Bolehkah Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal? Ini Penjelasan Ulama dari Berbagai Perspektif

Di tengah hangatnya suasana perayaan Natal yang dirayakan oleh umat Kristiani di seluruh dunia, muncul pertanyaan yang kerap mengusik umat Islam: “Apakah boleh mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada saudara, tetangga, rekan kerja, atau teman yang beragama Kristen?” Pertanyaan ini bukan sekadar soal etika atau kebiasaan sosial, melainkan juga menyangkut aspek fiqih dan akidah dalam Islam. Jawabannya pun tidak tunggal—para ulama memiliki beragam pandangan, mulai dari yang tegas mengharamkan hingga yang membolehkan dengan syarat tertentu.



Dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, di mana umat beragama hidup berdampingan dalam keragaman, isu ini menjadi relevan. Apalagi, interaksi sosial lintas agama—baik dalam lingkungan kerja, pendidikan, maupun kehidupan sehari-hari—sering kali menuntut bentuk penghormatan atau ucapan selamat saat momen-momen penting, termasuk hari raya keagamaan.

Interaksi Sosial dan Prinsip Menjaga Iman

Ustaz Ahmad Sarwat, M.A., Direktur Rumah Fiqih Indonesia, menjelaskan bahwa hukum mengucapkan Selamat Natal memang memiliki berbagai pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengharamkannya secara mutlak, ada pula yang membolehkannya dengan argumentasi tertentu, serta ada pula pendekatan moderat yang memilah masalah secara detail.


“Yang terpenting dalam interaksi sosial seperti ini adalah menjaga iman,” ujar Ustaz Sarwat dalam sebuah diskusi yang diunggah di kanal YouTube Santri Gayeng. Menurutnya, selama seorang muslim tidak terjerumus ke dalam bentuk pengakuan terhadap keyakinan agama lain atau menyerupai ritual ibadah mereka, maka bentuk interaksi sosial yang sopan dan penuh hormat—termasuk ucapan selamat—bisa dipertimbangkan dalam bingkai muamalah (hubungan sosial dalam Islam).

Pendapat yang Mengharamkan: Fatwa Syeikh Al-Utsaimin dan Ibnul Qayyim

Di satu sisi, ada fatwa-fatwa yang sangat tegas melarang ucapan Selamat Natal. Pandangan ini banyak didasarkan pada prinsip larangan menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil-kuffar) dan larangan memberikan bentuk persetujuan terhadap syiar-syiar kekufuran.

Salah satu tokoh utama yang mengharamkan ucapan tersebut adalah Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ulama besar asal Arab Saudi. Dalam Majmu’ Fatawa-nya (Jilid III, hlm. 44–46, Fatwa No. 403), beliau menegaskan:

“Memberi selamat kepada mereka (orang-orang kafir) pada hari raya mereka hukumnya haram, baik mereka memiliki hubungan bisnis dengan kita atau tidak. Jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan hari raya mereka, maka kita tidak boleh membalasnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya tersebut tidak diridhai oleh Allah SWT.”

Alasan utama di balik fatwa ini adalah kekhawatiran bahwa ucapan selamat dapat dianggap sebagai bentuk pengakuan atau legitimasi terhadap keyakinan yang bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Ahkām Ahli adz-Dzimmah. Beliau menyatakan:

“Mengucapkan selamat terkait syiar-syiar kekufuran yang khusus milik mereka adalah haram menurut kesepakatan ulama. Sebab, hal itu mengandung unsur persetujuan terhadap syiar-syiar kekufuran yang mereka lakukan.”

Bagi kelompok ini, Natal bukan sekadar perayaan budaya, melainkan bagian integral dari doktrin keagamaan yang menyertakan keyakinan tentang ketuhanan Yesus—yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, memberikan selamat dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap aqidah yang menyimpang.

Pendapat yang Membolehkan: Pandangan Dr. Yusuf Al-Qaradawi

Namun, tidak semua ulama sepakat dengan larangan mutlak tersebut. Sejumlah ulama kontemporer justru memandang ucapan Selamat Natal sebagai bentuk etika sosial dan hubungan baik antarumat beragama, selama tidak mengandung unsur pengakuan terhadap ajaran agama lain.

Salah satu tokoh yang terang-terangan membolehkan adalah Dr. Yusuf Al-Qaradawi, ulama ternama asal Mesir dan ketua International Union of Muslim Scholars. Menurut beliau, merayakan hari raya agama adalah hak setiap pemeluk agama, selama tidak merugikan atau mengganggu keyakinan agama lain.

“Kami sebagai pemeluk Islam tidak dilarang oleh agama kami untuk memberikan ucapan selamat kepada non-Muslim—baik warga negara, tetangga, maupun rekan kerja—dalam hari besar agama mereka. Bahkan, perbuatan ini termasuk dalam kategori al-birr (perbuatan baik dan mulia),” jelas Al-Qaradawi.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Al-Qaradawi menekankan bahwa kebolehan ini terutama berlaku dalam konteks masyarakat multireligius, dan apalagi jika umat non-Muslim tersebut juga memberikan ucapan selamat kepada umat Islam saat Idul Fitri atau Idul Adha. Dalam hal ini, ucapan selamat dipandang sebagai bentuk balas budi, hormat, dan penguatan ikatan sosial—bukan sebagai bentuk pengakuan teologis.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya