Apa Penyebab Nilai TKA Jeblok? Benarkah Akibat Gaji Guru yang Rendah dan Fasilitas Kurang?

Apa Penyebab Nilai TKA Jeblok? Benarkah Akibat Gaji Guru yang Rendah dan Fasilitas Kurang?

sekolah-moinzon-

Apa Penyebab Nilai TKA Jeblok? Benarkah Akibat Gaji Guru yang Rendah dan Fasilitas Kurang?

Nilai TKA Jeblok Mengguncang Dunia Pendidikan Indonesia: Gaji Guru, Fasilitas, dan Kebijakan Dinilai Jadi Akar Masalah



Dunia pendidikan Tanah Air kembali diguncang temuan yang mengkhawatirkan. Hasil pertama Tes Kemampuan Akademik (TKA) nasional yang baru saja dirilis menunjukkan angka yang jauh dari harapan. Rata-rata skor nasional untuk tiga mata pelajaran inti—Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris—ternyata berada di bawah standar minimal yang layak: 55, 36, dan hanya 25 dari skala 100.

Temuan ini bukan sekadar angka statistik. Ia memicu gelombang keprihatinan nasional, memicu perdebatan luas di berbagai platform digital, serta mempertanyakan kembali pondasi sistem pendidikan Indonesia yang telah dibangun selama puluhan tahun.

Skor Rendah di Tengah Harapan Tinggi
Yang lebih mengejutkan, provinsi dengan fasilitas dan anggaran pendidikan paling maju—seperti DKI Jakarta—juga tak mampu menunjukkan performa memuaskan. Skor rata-rata Matematika di ibu kota bahkan hanya mencapai angka 40. Padahal, Jakarta sering dianggap sebagai cerminan mutu pendidikan terbaik di Indonesia.


TKA sendiri dirancang bukan sebagai ujian hafalan, melainkan sebagai instrumen diagnostik berbasis penalaran dan kemampuan memecahkan masalah dalam konteks kehidupan nyata. Dengan desain seperti itu, rendahnya nilai peserta ujian seharusnya menjadi alarm dini: sistem pendidikan kita mungkin masih terjebak dalam pendekatan yang tidak relevan dengan tuntutan zaman.

Suara Masyarakat: Guru, Fasilitas, dan Kebijakan Jadi Sorotan
Reaksi publik tak lama datang. Media sosial langsung dibanjiri unggahan warganet yang menyampaikan keprihatinan, kritik, bahkan pengalaman pribadi terkait kondisi pendidikan di lapangan.

“Bagaimana murid bisa berpikir kritis kalau gurunya saja gajinya pas-pasan dan harus ngajar di tiga sekolah berbeda hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga?” cuit @cherafine, menyoroti persoalan kesejahteraan tenaga pendidik yang selama ini sering diabaikan.

Sementara itu, @ditsks menyoroti distribusi nilai yang sangat timpang: “Banyak peserta nilainya di bawah 30, tapi ada segelintir yang nilainya di atas 80. Ini menunjukkan ketimpangan akses pendidikan berkualitas antar daerah dan latar belakang sosial.”

Kritik juga mengarah pada struktur sistem itu sendiri. @nararkive, misalnya, menulis, “Kalau sekolah unggulan saja nilainya jeblok, lalu apa arti ‘unggulan’ selama ini? Ini bukan soal individu, tapi soal sistem yang gagal merespons tantangan zaman—apalagi pasca-pandemi.”

Pandemi dan Learning Loss: Luka yang Belum Pulih
Tak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 meninggalkan luka mendalam dalam dunia pendidikan. Selama lebih dari dua tahun, jutaan siswa terpaksa belajar dari rumah dengan keterbatasan akses internet, perangkat digital, dan pendampingan yang memadai. Fenomena learning loss—kemunduran kemampuan akademik akibat keterbatasan pembelajaran—kini mulai terlihat dalam data nyata.

Namun, para pengamat pendidikan menegaskan bahwa pandemi hanyalah pemicu, bukan akar masalah. “Akar persoalannya jauh lebih dalam: kurikulum yang tidak selaras dengan kebutuhan abad ke-21, pelatihan guru yang minim, serta ketimpangan infrastruktur antar daerah,” ujar Dr. Lina Wijaya, peneliti pendidikan dari Universitas Indonesia.

Reformasi Mendesak: Tidak Bisa Ditunda Lagi
Merespons temuan ini, pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk melakukan reformasi menyeluruh. Fokus utama ditempatkan pada peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan berkelanjutan, penyelarasan kurikulum dengan konteks dunia nyata, serta pemerataan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, para aktivis pendidikan mengingatkan bahwa janji saja tidak cukup. “Kebijakan harus dibarengi dengan anggaran yang cukup, pengawasan ketat, dan partisipasi aktif dari masyarakat,” tegas Rina Susanti dari Forum Pendidikan Rakyat.

Guru Bukan Hanya Pengajar, Tapi Pahlawan Peradaban
Di balik angka-angka yang suram, ada kisah manusia yang sering terlupakan: para guru yang bertahan meski gaji mereka jauh dari layak, fasilitas kelas yang kerap bocor saat hujan, dan beban administratif yang menggerus waktu mengajarnya. Mereka adalah garda terdepan yang berjuang tanpa pengakuan memadai.

“Meningkatkan kualitas pendidikan dimulai dari memuliakan guru,” kata seorang kepala sekolah di Nusa Tenggara Timur yang memilih tidak disebut namanya. “Ketika guru merasa dihargai, semangat mereka mengajar pun menyala—dan itulah yang akan menular ke murid-muridnya.”

Baca juga: Siapa kapten West Ham United saat ini? Berikut Kunci Jawaban FC Mobile 26 Trivia Terbaru Bikin jadi Pemenang!

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya