TKA SMA 2025 Menyedihkan, JPPI: Cermin Buruknya Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia
sekolah-geralt-
TKA SMA 2025 Menyedihkan, JPPI: Cermin Buruknya Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia
Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) jenjang SMA, SMK, MA, dan sederajat tahun 2025 resmi mulai didistribusikan ke dinas pendidikan daerah pada Selasa, 23 Desember 2025. Namun, alih-alih menjadi momentum evaluasi positif, data tersebut justru menjadi semacam “cermin retak” yang memantulkan kondisi pendidikan menengah Indonesia yang masih jauh dari harapan. Angka-angka yang dirilis memicu kekhawatiran mendalam di kalangan praktisi, pengamat, dan aktivis pendidikan nasional.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa capaian rendah dalam TKA 2025 sejatinya bukanlah kejutan baru. Menurutnya, hasil ini konsisten dengan berbagai asesmen pendidikan nasional maupun internasional yang selama ini menunjukkan stagnasi—bahkan kemunduran—dalam mutu pembelajaran di Indonesia.
“Ini bukan hasil yang mengagetkan. Dari berbagai asesmen sebelumnya, memang beginilah kondisinya. Angka-angka ini mencerminkan kenyataan pahit: kualitas pendidikan kita masih buruk,” ujar Ubaid kepada Bloomberg Technoz, Rabu (24/12/2025).
Yang lebih mengkhawatirkan, bahkan mata pelajaran dengan skor tertinggi dalam TKA tahun ini—Bahasa Indonesia—belum mampu menembus angka 60. Artinya, rata-rata siswa SMA di seluruh Indonesia masih berada di bawah standar kelulusan ideal untuk kompetensi dasar akademik. Padahal, Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu sebagian besar siswa, sekaligus fondasi utama dalam pengembangan literasi dan pemahaman konsep di berbagai disiplin ilmu.
Fokus pada Pendidikan Dasar dan Menengah: Fondasi yang Retak
Ubaid menekankan bahwa perbaikan sistem pendidikan nasional tidak bisa dimulai dari perguruan tinggi. Justru, fokus utama harus diletakkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah—tempat fondasi literasi, numerasi, dan sains dibangun.
“Kita harus serius mengurus jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika tidak, proses belajar di perguruan tinggi akan sia-sia. Mahasiswa datang ke kampus dengan bekal yang rapuh, lalu kita berharap mereka unggul secara akademik? Itu mustahil,” tegasnya.
Menurutnya, rendahnya kualitas literasi dan numerasi yang terlihat sejak SD dan SMP memiliki efek domino yang sulit diperbaiki di tingkat selanjutnya. Ia mencontohkan, siswa yang tidak mampu memahami teks dasar atau melakukan operasi matematika sederhana akan kesulitan memahami pelajaran kimia, fisika, ekonomi, atau bahkan sejarah yang membutuhkan analisis kritis.
“Kalau di level SD-SMP, kualitas literasi, numerasi, dan sainsnya buruk, maka dampaknya akan sangat sulit diperbaiki kemudian. Oleh karena itu, quality control di jenjang dasar harus sangat kuat,” imbuhnya.
Guru: Ujung Tombak Perubahan yang Terlupakan
Selain sistem dan kurikulum, Ubaid juga menyoroti peran sentral guru sebagai agen perubahan di kelas. Namun, kenyataannya, banyak guru di Indonesia masih berjuang dalam kondisi yang tidak ideal—mulai dari beban kerja berlebih, minimnya pelatihan berkelanjutan, hingga ketidakpastian kesejahteraan finansial.
“Peningkatan mutu pendidikan tidak mungkin terjadi tanpa guru yang berkualitas, termotivasi, dan sejahtera. Jaminan kesejahteraan dan peningkatan kompetensi guru harus menjadi prioritas nasional, bukan sekadar janji kampanye,” katanya.
Tanpa perbaikan struktural pada kondisi guru, ia meyakini, berbagai program reformasi pendidikan—termasuk asesmen seperti TKA—hanya akan menjadi formalitas administratif tanpa dampak nyata di kelas.
TKA Bukan Cermin Utuh, Kata Pengamat Pendidikan Ina Liem
Namun, tidak semua pihak sepakat bahwa TKA 2025 bisa dijadikan ukuran mutlak kualitas pendidikan menengah Indonesia. Pengamat pendidikan senior, Ina Liem, mengingatkan bahwa asesmen semacam TKA hanya mengukur capaian siswa pada satu titik waktu, bukan proses belajar tiga tahun yang kompleks dan penuh variabel.
“Nilai rerata TKA SMA 2025 belum bisa dijadikan patokan nilai ‘sesungguhnya’ dari proses belajar siswa selama di SMA. TKA hanya mengukur capaian pada satu titik waktu, sementara kualitas sekolah, kesiapan guru, dan keselarasan kurikulum masih sangat timpang,” ujar Ina.
Ia menekankan bahwa disparitas infrastruktur, akses internet, kualitas pelatihan guru, dan bahkan stabilitas listrik antara sekolah di perkotaan dan pedesaan masih sangat lebar. Dalam konteks seperti ini, membandingkan skor TKA secara nasional justru bisa menyesatkan dan tidak adil.