Viral! Ibu Hamil Positif HIV Lahiran ke Bidan Desa Tanpa SOP, Ini Prosedur Persalinan yang Aman Sesuai Standar Kemenkes

Viral! Ibu Hamil Positif HIV Lahiran ke Bidan Desa Tanpa SOP, Ini Prosedur Persalinan yang Aman Sesuai Standar Kemenkes

ilustrasi-pixabay-

Viral! Ibu Hamil Positif HIV Lahiran ke Bidan Desa Tanpa SOP, Ini Prosedur Persalinan yang Aman Sesuai Standar Kemenkes

Sebuah unggahan di media sosial baru-baru ini menggemparkan warganet. Seorang ibu hamil yang diketahui positif HIV diam-diam melahirkan di sebuah desa, dibantu oleh bidan setempat—tanpa alat pelindung diri (APD) memadai dan tanpa pengetahuan awal mengenai status HIV-nya. Kisah ini pertama kali dibagikan oleh akun @ali_fuadi di platform Threads dan kini telah menjadi viral, memicu kekhawatiran luas tentang keselamatan tenaga kesehatan, risiko penularan, serta pentingnya standar operasional prosedur (SOP) dalam penanganan persalinan ibu dengan HIV.



Yang membuat publik prihatin adalah fakta bahwa bidan desa tersebut tanpa sengaja membantu persalinan tanpa mengetahui bahwa ibu tersebut mengidap HIV. Padahal, tindakan medis dalam kondisi seperti ini memerlukan protokol khusus untuk melindungi tidak hanya ibu dan bayi, tetapi juga tim medis serta masyarakat sekitar dari potensi penularan virus yang masih menyandang stigma tinggi di banyak komunitas.

Lantas, bagaimana prosedur persalinan yang benar dan aman bagi ibu hamil dengan HIV? Apa saja langkah-langkah pencegahan yang wajib dilakukan? Berikut penjelasan lengkap berdasarkan panduan resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Mengapa Persalinan Ibu dengan HIV Butuh Penanganan Khusus?
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Tanpa intervensi medis, ibu hamil dengan HIV memiliki risiko tinggi—sekitar 25 hingga 40 persen—menularkan virus tersebut kepada janinnya selama kehamilan, persalinan, atau menyusui.


Namun, kabar baiknya adalah bahwa dengan pendekatan medis yang tepat, risiko penularan ini bisa ditekan hingga kurang dari 1 persen. Ini menunjukkan betapa pentingnya akses terhadap layanan kesehatan yang komprehensif dan edukasi yang memadai bagi ibu hamil dengan HIV.

Standar Prosedur Persalinan Ibu dengan HIV Menurut Kemenkes
Menurut laman resmi Kementerian Kesehatan (kesmas.kemkes.go.id), penatalaksanaan persalinan bagi ibu dengan HIV harus memenuhi tiga prinsip utama:

Menjamin keamanan ibu dan bayi
Meminimalkan risiko penularan—baik ke bayi, tenaga kesehatan, maupun pasien lain
Menerapkan tindakan yang efektif dan efisien
Untuk mencapai tujuan tersebut, berikut langkah-langkah yang wajib diperhatikan:

1. Konseling Komprehensif Sebelum Persalinan
Sebelum memutuskan metode persalinan, ibu, pasangan, dan keluarga harus menjalani konseling mendalam mengenai kelebihan dan risiko antara persalinan pervaginam (normal) dan persalinan dengan seksio sesarea terencana. Konseling ini juga mencakup edukasi tentang pencegahan penularan HIV, perawatan bayi baru lahir, serta pentingnya kepatuhan terhadap terapi antiretroviral (ARV).

2. Tempat Persalinan Harus di Fasilitas Rujukan ARV
Ibu hamil dengan HIV disarankan melahirkan di rumah sakit rujukan ARV, bukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas atau praktik bidan desa—kecuali dalam keadaan darurat dan telah dilengkapi protokol keselamatan ketat. Rumah sakit rujukan ini memiliki tenaga medis terlatih, alat pelindung, serta sistem penanganan limbah infeksius yang sesuai standar.

3. Plasenta Tidak Boleh Dibawa Pulang
Setelah persalinan, plasenta (ari-ari) harus dikelola sebagai limbah infeksius oleh pihak rumah sakit. Keluarga dilarang membawa pulang plasenta karena berisiko menyebarkan infeksi. Penanganan limbah ini diatur dalam peraturan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) untuk mencegah kontaminasi lingkungan.

4. Pemberian Profilaksis ARV pada Bayi Baru Lahir
Setiap bayi yang lahir dari ibu dengan HIV harus segera diberikan obat zidovudin (AZT) dalam waktu 12 jam pertama setelah lahir, dan dilanjutkan selama enam minggu. Obat ini berfungsi mencegah penularan virus dari ibu ke bayi (mother-to-child transmission).

Selain itu, pemberian ASI tidak dianjurkan. Sebagai gantinya, Kemenkes merekomendasikan penggunaan susu formula yang aman dan bergizi, karena ASI berpotensi menjadi medium penularan HIV meskipun ibu sedang menjalani terapi ARV.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya