Harga Cabai Rawit Meledak: Tembus Rp200 Ribu per Kg, Konsumen Terpukul Jelang Akhir Tahun
cabe-pixabay-
Harga Cabai Rawit Meledak: Tembus Rp200 Ribu per Kg, Konsumen Terpukul Jelang Akhir Tahun
Di penghujung tahun 2025, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada gejolak harga pangan yang cukup mengkhawatirkan. Salah satu komoditas yang paling mencuri perhatian adalah cabai rawit, yang harganya melonjak tajam hingga melampaui batas atas Harga Acuan Penjualan (HAP) yang ditetapkan pemerintah. Kondisi ini memicu kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat, terutama di tengah persiapan perayaan Natal dan Tahun Baru.
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), harga rata-rata nasional cabai rawit pada pekan ketiga Desember 2025 mencapai Rp66.841 per kilogram. Angka ini melonjak 52,86 persen dibandingkan bulan sebelumnya, November 2025, yang masih berada di angka Rp43.728 per kilogram. Kenaikan ini tidak hanya terjadi di satu atau dua wilayah, melainkan merata di seluruh penjuru negeri, menjadikan cabai rawit sebagai salah satu komoditas pangan paling fluktuatif jelang akhir tahun.
Melampaui Batas Harga Acuan Penjualan
Lebih mencemaskan lagi, harga tersebut telah melebihi batas atas Harga Acuan Penjualan (HAP) yang ditetapkan pemerintah untuk tingkat konsumen, yaitu Rp57.000 per kilogram. HAP sendiri merupakan panduan harga yang ditetapkan Kementerian Perdagangan untuk menjaga stabilitas pasar dan melindungi konsumen dari gejolak harga yang berlebihan. Batas bawah HAP untuk cabai rawit ditetapkan pada Rp40.000 per kilogram, artinya harga nasional saat ini justru berada di luar koridor yang dianggap aman.
“Cabai rawit memang menjadi komoditas yang perlu mendapat perhatian khusus,” ujar Windhiarso Ponco Adi Putranto, Direktur Statistik Harga BPS, dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (22/12/2025).
Kesenjangan Harga yang Mencolok
Ketimpangan harga antar daerah juga terlihat sangat mencolok. Di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, harga cabai rawit sempat menyentuh angka Rp200.000 per kilogram—angka fantastis yang nyaris lima kali lipat dari rata-rata nasional. Sementara itu, di Kisaran, Sumatra Utara, harga terendah masih terpantau di angka Rp26.800 per kilogram, menunjukkan disparitas distribusi dan aksesibilitas yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
Dari sisi geografis, 276 kabupaten/kota dilaporkan mengalami kenaikan harga cabai rawit, naik dari 272 daerah pada pekan sebelumnya. Artinya, tren kenaikan ini tidak hanya berlanjut, tetapi juga meluas ke lebih banyak wilayah.
Cuaca Ekstrem Ganggu Rantai Pasok
Menjawab pertanyaan mengapa harga cabai rawit bisa melambung sedemikian tinggi, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebut gangguan cuaca ekstrem sebagai penyebab utama. Meskipun pertanaman cabai di sentra-sentra utama seperti Magelang (Jawa Tengah) dan Sleman (DI Yogyakarta) berjalan normal, intensitas hujan yang tinggi menghambat proses panen.
“Pertanaman maupun panen normal kondisinya, tetapi perubahan cuaca itu menyebabkan panenan para petani sebagian tidak bisa dilakukan,” ungkap Maino Dwi Hartono, Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bapanas, yang baru saja melakukan pemantauan langsung ke sejumlah sentra produksi.
Akibatnya, banyak petani memilih menunda panen demi menghindari kerusakan hasil panen akibat hujan. Namun, keputusan ini justru berdampak pada penurunan pasokan di pasar tradisional maupun modern, yang pada akhirnya memicu kenaikan harga secara nasional.
Dampak pada Rumah Tangga dan UMKM
Lonjakan harga cabai rawit bukan hanya sekadar angka statistik—ia memiliki dampak nyata pada kehidupan sehari-hari. Bagi rumah tangga, cabai rawit merupakan bahan pokok dalam berbagai masakan Nusantara. Sementara itu, pelaku usaha kuliner skala kecil dan menengah (UMKM) juga terpukul, karena margin keuntungan mereka tergerus akibat kenaikan biaya bahan baku.
“Biasanya saya beli 1 kg cabai rawit buat sambal dan olahan lain, sekarang harus mikir dua kali. Harganya hampir sama dengan daging ayam,” keluh Rina, pedagang warung makan di Bekasi.