Wakil Gubernur Bangka Belitung, Hellyana, Ditetapkan Tersangka Kasus Ijazah Palsu: Polemik yang Menggoyang Kredibilitas Publik
Helly-Instagram-
Wakil Gubernur Bangka Belitung, Hellyana, Ditetapkan Tersangka Kasus Ijazah Palsu: Polemik yang Menggoyang Kredibilitas Publik
Dunia politik dan birokrasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sedang diguncang oleh kasus serius yang berpotensi menggoyahkan kepercayaan publik. Wakil Gubernur Bangka Belitung, Hellyana, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penggunaan ijazah palsu. Penetapan ini memicu gelombang pertanyaan luas mengenai integritas pejabat publik, transparansi administrasi pendidikan, serta penegakan hukum yang adil dan berkeadilan.
Penetapan Hellyana sebagai tersangka dikonfirmasi langsung oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko. “Iya benar (Hellyana ditetapkan tersangka),” ujarnya, seperti dilansir sejumlah media nasional termasuk Kompas.
Keputusan ini tidak muncul begitu saja. Kasus ini bermula dari laporan seorang mahasiswa Universitas Bangka Belitung, Ahmad Sidik, yang mempertanyakan keabsahan dokumen pendidikan tinggi sang wakil gubernur. Laporan tersebut kemudian ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri dan berujung pada penetapan status hukum Hellyana sebagai tersangka.
Dokumen Resmi dan Dasar Hukum Penetapan Tersangka
Kuasa hukum Ahmad Sidik, Herdika Sukma Negara, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima surat resmi dari Mabes Polri terkait penetapan tersebut. Menurut Herdika, surat pemberitahuan penetapan tersangka tertuang dalam Surat Ketetapan Nomor S.Tap/S-4/104/XII/2025/Dittipidum/Bareskrim, yang dikeluarkan pada 17 Desember 2025.
“Benar terkait informasi tersebut. Kami juga sudah menerima surat pemberitahuan penetapan tersangka dari Mabes Polri, yaitu tentang perihal ijazah Wakil Gubernur, Ibu Hellyana,” tegas Herdika dalam keterangannya kepada awak media.
Lebih lanjut, Herdika menjelaskan bahwa dasar laporan awal berasal dari hasil penelusuran data di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI), yang merupakan sistem resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Berdasarkan data tersebut, Hellyana tercatat mulai menempuh pendidikan tinggi pada 2013, namun mengundurkan diri pada tahun 2014, hanya setahun setelah pendaftaran.
“Tidak mungkin ijazah sudah keluar hanya kuliah satu tahun saja,” tegas Herdika, menyoroti ketidaksesuaian antara masa studi dan dokumen ijazah yang diklaim dimiliki oleh Hellyana.
Temuan ini menjadi fondasi utama bagi pelapor dalam mengajukan dugaan pemalsuan dokumen resmi—pelanggaran yang tidak hanya melanggar etika administrasi, tetapi juga dapat dikenai sanksi pidana sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sikap dan Respons dari Pihak Hellyana
Namun, di tengah konfirmasi resmi dari kepolisian, pihak Hellyana justru membantah telah ditetapkan sebagai tersangka. Kuasa hukumnya, M. Zainul Arifin, menegaskan bahwa hingga Selasa, 23 Desember 2025, pihaknya belum pernah menerima surat penetapan tersangka secara resmi dari penyidik Bareskrim Polri.
“Sampai hari ini tidak pernah ada surat penetapan tersangka yang kami terima secara resmi dari penyidik. Karena itu, kami meminta publik dan media untuk tidak berspekulasi serta menunggu penjelasan resmi dari aparat penegak hukum,” ujar Zainul dalam pernyataan tertulis.
Zainul menilai informasi yang beredar di ruang publik terlalu prematur dan berpotensi menyesatkan opini masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan, serta menjamin hak-hak hukum kliennya sebagai warga negara.
Dampak Politik dan Implikasi bagi Kepemimpinan Daerah
Penetapan Hellyana sebagai tersangka—jika terbukti sah—bisa memicu konsekuensi serius dalam tata kelola pemerintahan daerah. Sebagai pejabat publik tingkat provinsi, integritas akademik dan legalitas administratif merupakan fondasi utama dalam membangun kepercayaan rakyat. Skandal semacam ini tidak hanya menodai citra pribadi, tetapi juga berdampak pada reputasi institusi pemerintahan Provinsi Bangka Belitung secara keseluruhan.
Para pengamat politik lokal menilai, kasus ini menjadi ujian besar terhadap komitmen pemerintah daerah dalam menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Di sisi lain, masyarakat sipil dan akademisi mendorong agar proses penyelidikan dilakukan secara independen, objektif, dan terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan terhadap manipulasi hukum.