Emas Antam Tembus Rekor Baru: Harga Lebihi Rp2,5 Juta per Gram, Dipicu Optimisme Kebijakan The Fed
Emas Antam--
Emas Antam Tembus Rekor Baru: Harga Lebihi Rp2,5 Juta per Gram, Dipicu Optimisme Kebijakan The Fed
Pasar emas nasional menyambut awal pekan dengan euforia luar biasa. Pada Senin, 22 Desember 2025, harga emas batangan produksi PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM)—lebih dikenal dengan sebutan Emas Antam—resmi mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Harga per gramnya menembus angka Rp2.502.000, meningkat sebesar Rp11.000 dibandingkan posisi terakhir pada Sabtu (20/12/2025). Kenaikan ini bukan hanya sekadar angka, melainkan sinyal kuat dari dinamika ekonomi global yang mulai menguntungkan aset-aset safe haven seperti emas.
Tak hanya harga jual, nilai pembelian kembali (buyback) yang ditawarkan langsung oleh Antam juga ikut mencatatkan rekor baru. Pada hari yang sama, harga buyback emas Antam mencapai Rp2.361.000 per gram, naik Rp11.000 dari posisi Minggu (21/12/2025). Ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap emas fisik tetap tinggi, baik dari sisi konsumen maupun investor ritel.
Emas Global Ikut Melambung, Dekati Puncak Sejarah
Lonjakan harga emas di dalam negeri tak lepas dari performa emas di pasar internasional. Akhir pekan lalu, harga emas dunia di pasar spot ditutup di level US$4.342,7 per troy ons, naik 0,27% dibandingkan hari sebelumnya. Angka tersebut menjadikan emas global berada di posisi tertinggi kedua sepanjang masa, hanya sedikit di bawah rekor absolut yang pernah dicatat pada 20 Oktober 2025.
Dalam skala mingguan, emas global mencatat kenaikan 1,04% (point-to-point), sementara dalam satu bulan terakhir, harganya telah melonjak 5,15%. Performa ini mencerminkan kepercayaan investor global yang kian menguat terhadap emas sebagai benteng nilai di tengah ketidakpastian ekonomi.
Pemicu Kenaikan: Sinyal Pelonggaran Moneter dari The Fed
Apa yang mendorong rally harga emas? Jawabannya terletak pada ekspektasi kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat. Pasar kini semakin yakin bahwa Federal Reserve (The Fed) akan melanjutkan siklus pelonggaran moneter pada tahun 2026. Harapan ini muncul setelah rilis data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa inflasi inti (core inflation) AS pada November 2025 turun menjadi 2,6% secara year-on-year (yoy)—angka terendah sejak awal 2021.
Penurunan inflasi ini menjadi angin segar bagi pasar keuangan. Dengan inflasi yang terkendali, The Fed memiliki ruang lebih besar untuk menurunkan suku bunga acuan, langkah yang biasanya direspons positif oleh harga emas. Sebab, emas adalah aset non-yielding, artinya tidak memberikan bunga atau dividen. Dalam lingkungan suku bunga rendah, memegang emas menjadi lebih menarik karena biaya peluang (opportunity cost)-nya lebih kecil.
Mengapa Investor Beralih ke Emas?
Di tengah ketegangan geopolitik, perlambatan ekonomi di beberapa negara maju, serta kekhawatiran terhadap stabilitas sistem keuangan global, emas kembali menegaskan perannya sebagai pelindung nilai (hedge). Tren ini tidak hanya terjadi di pasar institusional, tetapi juga di kalangan masyarakat umum.
Di Indonesia, minat masyarakat terhadap emas batangan terus meningkat. Tak hanya sebagai instrumen investasi jangka panjang, emas juga kerap dijadikan simpanan darurat atau bentuk tabungan yang aman. Apalagi, dengan adanya layanan digital seperti tabungan emas di berbagai platform fintech, akses terhadap investasi emas kini jauh lebih mudah dan terjangkau.
Apa yang Harus Dilakukan Investor Sekarang?
Bagi investor ritel, kenaikan harga emas ini menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali portofolio investasi. Meski harga sedang tinggi, bukan berarti waktu untuk membeli emas sudah terlambat. Strategi cost averaging—membeli emas secara berkala dalam jumlah tetap—tetap relevan untuk mengurangi risiko volatilitas harga.
Sementara itu, bagi yang sudah memiliki emas fisik, penting untuk mempertimbangkan tujuan investasi. Jika emas dimaksudkan sebagai cadangan likuiditas jangka pendek, mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk merealisasikan sebagian keuntungan. Namun, jika tujuannya jangka panjang—seperti dana pendidikan atau pensiun—maka mempertahankan posisi masih menjadi pilihan bijak.