Tragedi Kebakaran Gedung Terra Drone: Kelalaian SOP hingga Dugaan Penghapusan Data Pemetaan Deforestasi Sumatra
Kebakaran-Instagram-
Tragedi Kebakaran Gedung Terra Drone: Kelalaian SOP hingga Dugaan Penghapusan Data Pemetaan Deforestasi Sumatra
Tragedi kebakaran yang melanda Gedung Terra Drone di kawasan Cempaka Baru, Jakarta Pusat, pada Selasa (9/12/2025) telah menewaskan 22 orang dan menyisakan luka mendalam bagi keluarga korban, rekan kerja, serta masyarakat luas. Namun, di balik kobaran api yang melahap lantai satu gedung tersebut, terungkap serangkaian kelalaian sistematis yang tidak hanya memperparah dampak bencana, tetapi juga memicu spekulasi mengenai motif tersembunyi: upaya menghilangkan data sensitif terkait deforestasi di Pulau Sumatra.
Awal Mula Api: Baterai Drone yang Menjadi Bom Waktu
Menurut keterangan saksi mata dan penyelidikan awal kepolisian, kebakaran berawal dari sebuah ruangan kecil berukuran 2x2 meter di lantai satu gedung—yang difungsikan sebagai gudang penyimpanan. Di ruangan itu, terdapat tumpukan baterai drone berkapasitas besar (30.000 mAh), termasuk yang masih berfungsi, sedang diperbaiki, rusak, serta mesin genset.
Api muncul ketika empat tumpukan baterai jatuh ke lantai, memicu percikan yang langsung menyambar baterai lain dan material mudah terbakar di sekitarnya. “Faktor pemicu langsungnya adalah baterai Lithium Polymer yang rusak—ada sekitar 6 hingga 7 unit error—tercampur dengan baterai yang masih baik,” ungkap Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Pusat, Roby Heri Saputra.
Dalam hitungan menit, api menjalar cepat. Tidak ada sistem peringatan dini, tidak ada alat pemadam otomatis, dan yang paling tragis: tidak ada jalur evakuasi yang memadai.
SOP yang Tak Ada: Tanda Bahaya yang Diabaikan
Investigasi lebih lanjut mengungkap fakta mengejutkan: perusahaan Terra Drone Indonesia sama sekali tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan baterai lithium, yang notabene termasuk bahan berbahaya dan mudah terbakar. Tidak ada pemisahan antara baterai rusak, bekas, dan yang masih layak pakai—semua disimpan dalam satu wadah tanpa pengamanan khusus.
“Tidak ada SOP sama sekali. Semua baterai dicampur jadi satu,” tegas Kapolres Jakarta Pusat.
Lebih parah lagi, ruang penyimpanan itu tidak memiliki ventilasi yang memadai, tidak dilengkapi peralatan antikebakaran (fireproofing), dan justru berada dalam satu area dengan genset—sumber panas yang berpotensi mempercepat komplikasi kebakaran. Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2018, baterai lithium yang dikategorikan sebagai bahan sangat mudah terbakar wajib disimpan terpisah, dalam wadah tahan api, dan tidak boleh ditumpuk.
Gedung Tanpa Standar Keselamatan: Kantor yang Menjadi Perangkap Maut
Meski mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Gedung Terra Drone ternyata jauh dari standar keselamatan bencana, terutama kebakaran. Petugas menemukan berbagai pelanggaran struktural:
Tidak ada pintu darurat
Tidak ada sistem deteksi asap atau api
Tidak ada jalur evakuasi yang jelas
Lantai 2 hingga 6 terdiri dari ruangan-ruangan tertutup tanpa ventilasi
Seluruh gedung dibangun dengan dinding dan kaca tebal yang tidak mudah dipecahkan
“Para karyawan di lantai atas bahkan tidak tahu ada kebakaran hingga seorang rekan dari lantai satu berteriak dan memberitahu mereka secara manual,” jelas Roby.
Ironisnya, gedung tersebut secara peruntukan hanya boleh digunakan sebagai kantor—bukan sebagai gudang penyimpanan bahan berbahaya. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
22 Jiwa Melayang: Korban Asap, Bukan Api
Dari 22 korban jiwa yang ditemukan, mayoritas tidak meninggal akibat luka bakar langsung. Hasil autopsi forensik menunjukkan bahwa penyebab utama kematian adalah keracunan karbon monoksida dan kehabisan napas akibat terlalu lama terjebak dalam asap tebal.
“Sebanyak 70% korban mengalami luka bakar derajat satu hingga dua, namun kematian terjadi karena mereka gagal menemukan jalan keluar dan akhirnya kehabisan oksigen,” ujar Susatyo, salah satu penyidik utama kasus ini.
Banyak jenazah ditemukan di dekat jendela dan jalur evakuasi. Diduga, korban berusaha memecahkan kaca untuk mencari udara segar—namun gagal karena kaca gedung terlalu tebal dan tidak dilengkapi alat pemecah darurat.
Direktur Michael Jadi Tersangka: Kelalaian atau Kesengajaan?
Polisi telah menetapkan Direktur Utama Terra Drone Indonesia, Michael, sebagai tersangka. Ia dituduh melakukan lima bentuk kelalaian berat yang secara langsung berkontribusi pada tragedi ini:
Tidak menyusun atau menerapkan SOP penyimpanan baterai berbahaya
Tidak menunjuk petugas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Tidak memberikan pelatihan keselamatan kebakaran kepada karyawan
Tidak menyediakan ruang penyimpanan yang memenuhi standar untuk bahan mudah terbakar
Mengabaikan ketersediaan pintu darurat dan jalur evakuasi
Michael terancam dijerat dengan Pasal 187 dan 188 KUHP tentang kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan kebakaran, serta Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian. Ancaman hukumannya bervariasi: dari maksimal 5 tahun penjara hingga 20 tahun jika terbukti sengaja membahayakan nyawa orang lain.
“Direktur tahu risiko baterai lithium, tapi tetap membiarkan kondisi tanpa SOP dan tanpa perlindungan,” tegas Susatyo.
Selain itu, Michael juga diduga melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Permenaker No. 15 Tahun 2008 tentang penanggulangan kebakaran—yang mewajibkan tersedianya APAR, sistem peringatan dini, pelatihan rutin, serta identifikasi risiko di tempat kerja.
Isu Sensitif: Apakah Data Pemetaan Deforestasi Sumatra Ikut Hangus?
Di tengah sorotan terhadap kelalaian manajemen, muncul isu lain yang tak kalah mengguncang: dugaan bahwa kebakaran ini sengaja dilakukan untuk menghancurkan data pemetaan satelit dan drone terkait deforestasi di Pulau Sumatra.
Terra Drone dikenal sebagai perusahaan yang menyediakan layanan pemetaan digital untuk sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Beberapa sumber mengklaim bahwa perusahaan ini tengah menyimpan data terkini mengenai praktik pembalakan liar dan perluasan perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan Sumatra—data yang bisa menjadi bukti krusial dalam penyelidikan bencana alam baru-baru ini.