Siapa Fransiska Dwi Melani? Direktur PT Mecimapro yang Terseret Kasus Skandal Konser TWICE
Fransiska-Instagram-
Siapa Fransiska Dwi Melani? Direktur PT Mecimapro yang Terseret Kasus Skandal Konser TWICE
Skandal Konser TWICE dan Guncangan Kepercayaan Penggemar K-Pop terhadap Industri Hiburan Indonesia
Dunia hiburan Tanah Air kembali diguncang skandal hukum yang berpotensi merusak reputasi Indonesia di mata industri hiburan global, khususnya di ranah K-Pop. Kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menyeret nama Fransiska Dwi Melani, Direktur PT Mecimapro—perusahaan promotor yang dikenal aktif menggelar konser artis internasional—kini menjadi perbincangan hangat di kalangan penggemar K-Pop dan pelaku industri musik.
Sidang perdana kasus ini digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 2 Desember 2025. Jaksa Penuntut Umum (JPU) resmi mendakwa Melani berdasarkan Pasal 372 dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang masing-masing mengatur soal penggelapan dan penipuan. Inti dakwaan menyebutkan bahwa Melani diduga tidak menunaikan kewajibannya membayar uang senilai Rp10 miliar kepada PT Media Inspirasi Bangsa, meskipun jumlah tersebut telah disepakati melalui kontrak bisnis sebelumnya.
Yang membuat kasus ini semakin menyedot perhatian publik adalah keterkaitannya dengan konser girlband asal Korea Selatan, TWICE, yang digelar di Jakarta pada Desember 2023 lalu. Menurut laporan yang dirilis Detik, konser tersebut sukses mengantongi pendapatan bruto sebesar Rp35.118.957.020—angka yang sangat signifikan dan menunjukkan besarnya antusiasme penggemar lokal terhadap idola mereka.
Namun, di balik kesuksesan finansial tersebut, muncul tanda tanya besar: ke mana larinya dana konser? JPU menilai bahwa sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan, Melani seharusnya memastikan seluruh kewajiban pembayaran terpenuhi, termasuk kepada pihak ketiga yang telah berkontribusi dalam penyelenggaraan acara.
Tanggapan Hukum dan Pembelaan
Melalui kuasa hukumnya, Ardi Wira, Melani membantah tudingan pidana tersebut. Ia menegaskan bahwa sengketa yang terjadi bersifat perdata dan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme perjanjian bisnis yang sah, bukan melalui jalur hukum pidana. Menurut Ardi, langkah hukum yang diambil pihak pelapor merupakan upaya untuk menyeret kasus komersial ke ranah kriminal demi mendapatkan tekanan publik.
“Klien kami selama ini dikenal sebagai promotor profesional yang telah membawa puluhan artis internasional ke Indonesia, termasuk deretan nama besar dari Korea Selatan,” ujar Ardi dalam keterangan pers. “Penyeretan nama baiknya ke ranah pidana tanpa proses mediasi yang memadai justru berpotensi merugikan ekosistem hiburan nasional secara keseluruhan.”
Dampak terhadap Citra Industri Hiburan Indonesia
Kasus ini tak hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga memicu kekhawatiran mendalam di kalangan penggemar K-Pop di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah grup idol ternama—baik dari Korea maupun Jepang—mulai menghilangkan Indonesia dari daftar tur dunia mereka. Fenomena ini sempat dikaitkan dengan isu logistik, regulasi visa, hingga ketidakpastian keamanan. Namun, kini muncul kecurigaan baru: apakah masalah internal promotor lokal, seperti kasus Mecimapro, ikut menjadi alasan utama agensi luar enggan menggelar konser di Tanah Air?
Di media sosial, tagar seperti #SaveKpopConcertsInIndonesia dan #TransparansiPromotor sempat menjadi trending. Banyak netizen menyatakan kekecewaan, bukan hanya terhadap dugaan kesalahan individual, tetapi terhadap sistem pengelolaan acara hiburan yang dinilai masih jauh dari standar profesionalisme internasional.
“Kami rela antre berjam-jam, menghabiskan tabungan, bahkan menabung bertahun-tahun demi menonton idola. Tapi jika promotor tidak bisa dipercaya, bagaimana agensi luar mau datang lagi?” tulis salah satu pengguna Twitter yang mengaku sebagai ONCE—sebutan untuk penggemar TWICE.
Seruan untuk Reformasi Tata Kelola Konser
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa industri hiburan Tanah Air perlu segera melakukan reformasi menyeluruh, khususnya dalam hal transparansi keuangan, akuntabilitas promotor, dan perlindungan konsumen. Banyak penggemar menyerukan agar pemerintah atau asosiasi industri musik membentuk sistem sertifikasi atau regulasi yang lebih ketat bagi promotor acara skala besar.
“Indonesia memiliki basis penggemar K-Pop terbesar di Asia Tenggara. Tapi potensi ini bisa sia-sia kalau promotor tidak menjunjung tinggi komitmen dan integritas,” ujar seorang pengamat budaya pop yang enggan disebutkan namanya.
Baca juga: Stok BBM Sumatera Disebut Aman, Warga Langsung Protes: Di Sini Kosong, Pak!