Stok BBM Sumatera Disebut Aman, Warga Langsung Protes: Di Sini Kosong, Pak!
Bahlil-Instagram-
Stok BBM Sumatera Disebut Aman, Warga Langsung Protes: Di Sini Kosong, Pak!
Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang menyebut stok bahan bakar minyak (BBM) di Pulau Sumatera dalam kondisi aman, mendadak menjadi sorotan publik. Pasalnya, klaim tersebut justru bertolak belakang dengan realitas yang dihadapi warga di sejumlah wilayah terdampak bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat.
Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera sejak awal pekan ini telah memutus akses logistik, termasuk distribusi BBM dan LPG. Puluhan ribu warga terisolasi, fasilitas umum rusak parah, dan kebutuhan pokok kian menipis. Di tengah situasi kritis tersebut, pernyataan Bahlil dianggap tidak peka dan jauh dari kondisi lapangan yang sesungguhnya.
Klaim “Stok Cukup” Langsung Dibantah Warga
Pada Selasa, 2 Desember 2025, saat mengunjungi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Bahlil menyatakan bahwa stok BBM di wilayah Sumatera dalam kondisi cukup. “Menyangkut BBM, secara stok di wilayah Sumatera, itu cukup,” ujarnya dengan nada meyakinkan.
Namun, pernyataan itu tak sampai hitungan detik langsung dibantah keras oleh warga setempat. Seorang warga yang berdiri tak jauh dari lokasi kunjungan Menteri berseru, “Nggak ada cukup, Pak! Di sini kosong, Pak!”
Respons spontan itu sontak menarik perhatian awak media dan menggambarkan ketimpangan antara data pusat dengan realitas di lapangan. Warga mengaku sudah berhari-hari kesulitan mendapatkan bensin, solar, dan gas elpiji—bukan karena tidak tersedia, melainkan karena akses transportasi terputus akibat jalan utama rusak atau tertimbun longsor.
Akses Terputus, BBM Tak Bisa Sampai ke Lokasi Bencana
Menghadapi protes warga, Bahlil kemudian memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa stok BBM sebenarnya tersedia di depot atau terminal BBM, namun distribusi ke titik-titik terdampak terhambat karena infrastruktur jalan yang rusak.
“Ntar dulu, tetapi kabupaten ini… tidak bisa masuk karena jalannya terputus,” ungkapnya sembari menekankan bahwa pemerintah tengah mencari solusi logistik alternatif.
Bahlil menyebutkan dua opsi yang sedang dirancang untuk menyalurkan BBM ke daerah terisolasi: pertama, melalui jalur-jalur kecil atau yang kerap disebut “jalan tikus”; kedua, dengan metode distribusi darurat lainnya yang masih dalam tahap perencanaan. Namun, ia tak memberikan detail lebih lanjut mengenai waktu implementasi maupun skema teknisnya.
Relaksasi Barcode SPBU dan Pasokan LPG Darurat
Sebagai upaya percepatan bantuan, Bahlil mengumumkan kebijakan darurat: relaksasi penggunaan sistem barcode di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah terdampak. Selama ini, sistem barcode digunakan untuk membatasi pembelian BBM bersubsidi, terutama solar, demi mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berhak.
“Sejak tadi pagi, kami sudah membuat aturan untuk relaksasi. Di wilayah bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, masyarakat tidak perlu lagi menggunakan barcode. Silakan langsung isi BBM,” jelasnya.
Langkah ini diharapkan dapat mempercepat distribusi BBM kepada masyarakat dan kendaraan operasional tanggap darurat. Namun, pertanyaannya tetap sama: bagaimana BBM bisa sampai ke SPBU jika jalan utama terputus?
Untuk pasokan LPG, Bahlil mengatakan stok gas elpiji 3 kg tersedia di pusat-pusat distribusi kota. “Tapi yang jadi masalah adalah pengirimannya ke daerah-daerah terdampak. Kami sedang mencari alternatif jalur distribusi,” tambahnya.
Kesenjangan Data dan Lapangan: Potret Krisis Komunikasi
Insiden ini mencerminkan kesenjangan antara data makro yang dimiliki pemerintah pusat dengan kondisi mikro di lapangan. Sementara stok di gudang memang mencukupi secara nasional, aksesibilitas dan rantai distribusi—terutama di daerah rawan bencana—masih menjadi titik lemah sistem logistik nasional.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Rina Harahap, mengatakan bahwa pernyataan seperti yang disampaikan Bahlil berpotensi memicu kepercayaan publik menurun. “Dalam situasi darurat, masyarakat butuh empati, bukan sekadar angka-angka dari kantor pusat. Pernyataan ‘stok cukup’ tanpa menyebut hambatan distribusi justru terkesan mengabaikan penderitaan warga,” ujarnya kepada KabarIndonesia.com.