Kembalinya Elphaba dan Glinda jadi Tanpa Film Wicked: For Good (2025) Bakal Lanjut Season 2?
Ariana-Instagram-
Kembalinya Elphaba dan Glinda jadi Tanpa Film Wicked: For Good (2025) Bakal Lanjut Season 2?
Setelah penantian panjang dan antusiasme yang terus membara sejak perilisan film pertamanya pada 2024, Wicked: For Good akhirnya resmi tayang di bioskop Indonesia pada Rabu (19/11/2025). Sebagai kelanjutan dari adaptasi musikal Broadway yang begitu dicintai, film ini menjanjikan kisah yang lebih emosional, lebih gelap, dan lebih dekat dengan legendarium klasik The Wizard of Oz. Dengan kehadiran dua lagu baru, set produksi yang lebih megah, serta drama yang lebih intens, sekuel ini datang dengan ekspektasi besar di pundaknya.
Namun, bersamaan dengan riuh rendah para penggemar yang kembali ke dunia Oz, muncul pula keraguan yang mulai berhembus. Rating Rotten Tomatoes menjadi indikator awal yang mencuri perhatian. Jika film pertamanya mampu berdiri gagah dengan skor 88 persen, Wicked: For Good justru hanya mengantongi sekitar 71 persen—sebuah penurunan signifikan yang memicu diskusi hangat.
Pertanyaannya kini: apakah benar sekuel yang sangat dinanti ini kehilangan daya magis yang membuat penonton jatuh hati pada film pertamanya? Untuk menjawabnya, berikut ulasan lengkap yang mengupas berbagai sisi menarik dari film ini.
1. Berlatar Lima Tahun Setelah Peristiwa Wicked, Konflik Semakin Berlapis dan Gelap
Masih melekat di ingatan bagaimana Wicked (2024) ditutup dengan kejutan besar yang mengubah nasib banyak tokoh di Oz. Setelah terbongkarnya manipulasi The Wizard (Jeff Goldblum) dan Madame Morrible (Michelle Yeoh), Elphaba melarikan diri sambil membawa Grimmerie dan mulai bergerilya sebagai buronan.
Di Wicked: For Good, penonton dibawa lima tahun setelah kejadian besar tersebut. Suasana Oz kini jauh lebih suram, tegang, dan penuh intrik politik yang membayangi kehidupan setiap karakter.
Elphaba (Cynthia Erivo) hidup dalam persembunyian di hutan, terus mencari cara untuk membongkar kebohongan The Wizard sambil memperjuangkan hak-hak para Animals yang terus ditekan pemerintah. Sebaliknya, Glinda (Ariana Grande) kini telah naik sebagai “Glinda the Good,” wajah baru rezim yang mengarahkan opini publik agar percaya bahwa Elphaba adalah ancaman terbesar bagi Oz.
Konflik personal mereka kini bukan sekadar perbedaan prinsip—melainkan pertarungan antara cinta lama, persahabatan yang terputus, dan peran sosial yang menghimpit keduanya.
Di sisi lain, karakter lain pun mengalami transformasi drastis.
Fiyero (Jonathan Bailey), tunangan Glinda yang kini menjabat sebagai kapten pengawal, berada dalam pergulatan batin karena cintanya pada Elphaba belum padam.
Nessarose (Marissa Bode), adik tiri Elphaba, kini menjadi Gubernur Munchkinland yang keras dan otoriter, jauh berbeda dari sosok rapuh di film pertama.
Dengan rentang waktu lima tahun itu saja, film ini sudah menyiapkan fondasi drama yang lebih kaya, lebih gelap, dan jauh lebih kompleks.
2. Menyuguhkan Koneksi Baru dengan The Wizard of Oz yang Lebih Berani dan Tidak Terduga
Salah satu elemen paling menarik dari film ini adalah bagaimana ia menambah lapisan baru pada cerita klasik The Wizard of Oz. Salah satunya melalui kilas balik masa kecil Glinda—materi yang tidak pernah muncul dalam versi musikal Broadway. Lewat rangkaian adegan tersebut, penonton diajak menyelami latar belakang Glinda yang membuat obsesinya terhadap penerimaan publik dan citra sempurna menjadi lebih masuk akal dan manusiawi.
Koneksi dengan The Wizard of Oz kian terasa ketika Dorothy Gale muncul dalam alur cerita. Namun, sudut pandangnya kali ini jauh dari gambaran manis ala film tahun 1939. Perjalanan Dorothy di Yellow Brick Road diberi konteks baru yang lebih kelam dan menyakitkan.
Bahkan motivasi tiga sahabat Dorothy—Scarecrow, Tin Man, dan Cowardly Lion—ditambahkan dengan twist yang mengejutkan. Detail-detail ini membuat penonton melihat kembali kisah klasik tersebut melalui perspektif yang benar-benar berbeda.
3. Sayangnya, Eksekusi Musikal Terkesan Terlalu Generik dan Kurang Menggigit
Meski ceritanya hadir lebih matang, aspek musikal—yang seharusnya menjadi jantung film—tak selalu berhasil memberi gebrakan. Banyak kritikus sepakat bahwa beberapa nomor musikal dalam Wicked: For Good terasa kurang kuat bila dibandingkan dengan film pertamanya.
Contohnya, lagu baru “The Girl in the Bubble” memang menghadirkan visual sinematik melalui teknik mirror shot yang unik. Namun, sejumlah lagu lainnya justru terasa seragam satu sama lain akibat pengadeganan yang terlalu bergantung pada CGI.
Hal ini membuat bagian-bagian yang seharusnya emosional atau epik justru terasa datar dan kehilangan daya pikat. Jika dibandingkan dengan adegan ikonik “Defying Gravity” atau “Popular” yang meledak di film pertama, jelas terasa adanya penurunan energi musikal.
Meski demikian, film ini tetap unggul dari segi desain produksi. Dunia Oz divisualisasikan dengan megah, penuh warna, dan detail artistik yang memanjakan mata. Adegan puncak antara Elphaba dan Glinda dalam lagu “For Good” menjadi pengecualian manis yang kembali membawa kehangatan dan keajaiban, meski tak cukup kuat untuk menutupi inkonsistensi keseluruhan musikalnya.