Kabar Duka! Raja Keraton Solo Pakubuwono XIII Meninggal Dunia pada Minggu, 2 November 2025 di Usia 77 Tahun
Pakubuwono-Instagram-
Kabar Duka! Raja Keraton Solo Pakubuwono XIII Meninggal Dunia pada Minggu, 2 November 2025 di Usia 77 Tahun
Solo, 3 November 2025 – Dunia kebudayaan Jawa kehilangan salah satu tokoh paling kharismatik dan visioner dalam sejarah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, raja yang dikenal gigih menyatukan dua kubu keraton yang sempat terbelah, meninggal dunia pada Minggu (2/11) pagi di usia 77 tahun. Kabar duka ini mengguncang masyarakat Solo dan pecinta budaya Jawa di seluruh Tanah Air.
Sang raja wafat setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit sejak 20 September lalu. Meski kondisi kesehatannya sempat membaik, komplikasi penyakit yang diderita sejak beberapa bulan terakhir akhirnya membawanya berpulang, meninggalkan warisan luar biasa bagi keberlangsungan tradisi Mataram Islam.
Lahir dari Darah Biru, Dibesarkan oleh Budaya Jawa
Lahir di Kota Solo pada 28 Juni 1948, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dibesarkan dalam lingkungan keraton yang sarat dengan nilai-nilai luhur kebangsawanan Jawa. Sebagai putra sulung dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII, ia sejak kecil telah akrab dengan berbagai tata cara keraton, mulai dari upacara adat, kesenian klasik, hingga filosofi kepemimpinan Jawa yang berakar pada welas asih dan ngayomi.
Tak heran jika sejak muda, Hangabehi menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap pelestarian budaya. Ia tidak hanya dipersiapkan sebagai pewaris takhta, tetapi juga sebagai penjaga nyala tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun—sejak masa Mataram Islam hingga era modern.
Krisis Suksesi yang Mengguncang Istana
Namun, takhta yang seolah sudah ditakdirkan justru menjadi sumber ujian terbesar dalam hidupnya. Ketika Pakubuwono XII wafat pada 11 Juni 2004, Keraton Surakarta diguncang krisis suksesi yang memicu perpecahan dalam lingkungan keluarga besar Mataram. Almarhum raja memiliki enam istri dan 35 anak, sehingga garis keturunan menjadi luas dan kompleks.
Dua nama muncul sebagai calon kuat penerus takhta: KGPH Hangabehi dan adik kandungnya, KGPH Tedjowulan. Forum Komunikasi Putra Putri (FKPP) PB XII akhirnya menggelar rapat pada 10 Juli 2004 dan menetapkan Hangabehi sebagai penerus sah. Penobatan pun dijadwalkan pada 10 September 2004.
Namun, suasana damai tidak berlangsung lama. Kubu pendukung Tedjowulan secara sepihak melangsungkan upacara penobatan pada 31 Agustus 2004 di Sasana Pumama, Solo. Situasi semakin memanas hingga memicu bentrokan fisik di kompleks keraton pada awal September—peristiwa langka yang pertama kali terjadi dalam sejarah Kasunanan Surakarta.
Dinding-dinding istana yang selama berabad-abad menjadi simbol ketenangan dan harmoni, kali ini menjadi saksi bisu perkelahian antar sesama trah darah biru. Beberapa abdi dalem terluka, dan dualisme kepemimpinan pun mengoyak wibawa keraton.
Penobatan di Tengah Badai dan Komitmen pada Tradisi
Meski dihimpit tekanan, Hangabehi tetap melanjutkan penobatannya pada 10 September 2004 di Bangsal Manguntur Tangkil, Sitihinggil Lor. Upacara berlangsung khidmat dan dihadiri oleh bangsawan, cucu-cucu PB XII, serta utusan dari kerajaan dan keraton se-Nusantara. Dukungan dari tiga sesepuh keraton—tokoh spiritual yang dihormati—semakin memperkuat legitimasi Hangabehi sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.
Alih-alih tenggelam dalam konflik, PB XIII justru menunjukkan kepemimpinan yang bijak. Ia memilih fokus pada satu misi utama: melestarikan budaya Jawa. Di tengah perpecahan, upacara adat tetap digelar, tari klasik seperti Bedhaya dan Srimpi terus dipentaskan, dan para abdi dalem diberi perhatian khusus. Baginya, keraton bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi pusat peradaban Jawa yang harus terus bernapas.
Langkah Rekonsiliasi yang Mengubah Sejarah
Salah satu momen paling bersejarah terjadi pada Juli 2009, ketika PB XIII menggelar upacara jumenengan—ritual pelantikan resmi raja Surakarta. Tari Bedhaya Ketawang, tarian sakral yang hanya ditampilkan untuk raja yang diakui kedaulatannya, kembali dipentaskan setelah sekian lama. Yang mengejutkan, KGPH Tedjowulan—yang masih berselisih dengannya—juga hadir dalam acara tersebut. Kehadirannya menjadi isyarat kuat menuju rekonsiliasi.
Benar saja, tiga tahun kemudian, pada 2012, perdamaian akhirnya terwujud. Melalui mediasi intensif yang melibatkan DPR RI, Pemerintah Kota Solo di bawah kepemimpinan Wali Kota Joko Widodo (kini Presiden RI), serta tokoh adat dan keluarga keraton, kedua pihak mencapai titik temu.
Tedjowulan secara resmi mengakui Hangabehi sebagai Pakubuwono XIII yang sah dan menerima gelar kehormatan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung. Ia juga dipercaya menjabat sebagai Mahapatih—jabatan tinggi dalam struktur keraton—sebagai bentuk penghargaan atas kontribusinya dalam menjaga kehormatan trah Mataram.
Peristiwa ini bukan sekadar penyelesaian konflik internal, melainkan tonggak sejarah yang menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan dan dimulainya era baru: era persatuan dan pemulihan martabat Kasunanan Surakarta Hadiningrat.