Tuntutan Nafkah Rp100 Perak Tasya Farasya: Sindiran Pedas atau Strategi Hukum Cerdas?

Tasya-Instagram-
Tuntutan Nafkah Rp100 Perak Tasya Farasya: Sindiran Pedas atau Strategi Hukum Cerdas?
Sidang perceraian antara beauty vlogger ternama Tanah Air, Tasya Farasya, dan suaminya, Ahmad Assegaf, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada Rabu, 24 September 2025, menjadi sorotan publik nasional. Bukan hanya karena status selebritas Tasya, tetapi juga karena tuntutan nafkah yang diajukannya: Rp100 perak—angka yang terdengar nyaris tak masuk akal di tengah biaya hidup Jakarta yang terus melambung.
Namun, jangan salah sangka. Angka simbolis tersebut bukanlah kelalaian atau kecerobohan. Justru, di balik nominal yang terkesan “receh” itu tersimpan makna mendalam—sekaligus sindiran halus terhadap dinamika rumah tangga yang telah retak selama tujuh tahun pernikahan mereka.
Mengapa Hanya Rp100 Perak? Ini Penjelasan di Balik Simbolisme Tasya Farasya
Dalam dunia hukum keluarga, tuntutan nafkah biasanya mencerminkan kebutuhan finansial mantan pasangan dan anak-anaknya. Namun, dalam kasus Tasya Farasya, angka Rp100 perak justru menjadi bentuk pernyataan simbolis yang sarat makna.
Kuasa hukum Tasya, Sangun Ragahdo, menjelaskan bahwa inti permasalahan bukan semata-mata soal uang, melainkan krisis kepercayaan yang telah menggerogoti fondasi pernikahan mereka sejak lama.
“Kalau dari Ibu Tasya, ini bukan soal tidak dinafkahi secara materi semata, tapi titik beratnya ada pada masalah kepercayaan,” ujar Sangun saat ditemui di luar ruang sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Rabu (24/9/2025).
Lebih lanjut, Sangun menegaskan bahwa selama tujuh tahun pernikahan, Tasya merasa tidak mendapatkan nafkah lahir maupun batin secara layak—baik secara emosional, psikologis, maupun finansial. Dalam konteks hukum Islam, nafkah tidak hanya berarti uang, tetapi juga perhatian, kasih sayang, dan tanggung jawab sebagai suami.
“Karena selama ini Ibu Tasya merasa tidak ada nafkah yang diberikan, maka kami sengaja mengajukan nominal simbolis ini sebagai bentuk penegasan bahwa sang suami tidak pernah memenuhi kewajibannya,” tambahnya.
Strategi Hukum atau Sindiran Halus?
Banyak netizen dan pengamat hukum menilai tuntutan Rp100 perak ini sebagai bentuk sindiran halus terhadap Ahmad Assegaf. Di satu sisi, angka tersebut terlalu kecil untuk dipandang serius secara finansial. Namun, di sisi lain, justru itulah kekuatannya: menyoroti ketidakseriusan pihak suami dalam memenuhi tanggung jawab keluarga.
“Ini bukan soal uang. Ini soal prinsip,” kata seorang pengacara keluarga yang enggan disebut namanya. “Dengan mengajukan nominal simbolis, Tasya ingin menunjukkan bahwa selama ini dia tidak pernah benar-benar ‘dinafkahi’—baik secara materi maupun nonmateri.”
Tuntutan ini juga bisa menjadi strategi hukum cerdas. Dengan angka yang sangat kecil, pihak Tasya memperkecil kemungkinan gugatan ditolak atau dikurangi oleh hakim. Sebaliknya, jika Ahmad Assegaf menolak membayar bahkan nominal sekecil itu, hal tersebut bisa menjadi bukti tambahan bahwa ia tidak memiliki itikad baik sebagai ayah dan mantan suami.
Dugaan Penggelapan: Kasus yang Lebih Luas dari Sekadar Perceraian
Namun, drama perceraian ini ternyata tidak berhenti pada soal nafkah. Sangun Ragahdo juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan laporan terkait dugaan penggelapan yang dilakukan Ahmad Assegaf di perusahaan milik Tasya Farasya.
“Terkait dugaan penggelapan, kami sudah ajukan dalam gugatan. Kami juga telah mengumpulkan bukti-bukti dan dokumen lengkap untuk melaporkan ke pihak kepolisian,” tegas Sangun.
Jika terbukti, kasus ini bisa berujung pada tuntutan pidana, bukan hanya perdata. Ini menunjukkan bahwa konflik antara Tasya dan Ahmad bukan sekadar perbedaan pandangan rumah tangga, melainkan melibatkan isu keuangan dan kepercayaan yang jauh lebih kompleks.
Respons Publik dan Dampak pada Citra Personal Branding
Sebagai figur publik dengan jutaan pengikut di media sosial, setiap langkah Tasya Farasya selalu menjadi perbincangan. Tuntutan nafkah Rp100 perak ini pun langsung menjadi viral di berbagai platform digital, dari Twitter hingga TikTok.
Sebagian warganet memuji keberanian Tasya mengambil sikap tegas, sementara yang lain penasaran apakah ini bagian dari strategi personal branding. Namun, banyak juga yang bersimpati, mengingat betapa sulitnya mempertahankan pernikahan tanpa kepercayaan dan dukungan emosional.
“Tasya bukan cuma beauty vlogger, dia juga ibu. Dan sebagai ibu, dia berhak mendapatkan keadilan—baik di ranah hukum maupun moral,” tulis salah satu komentar populer di Instagram-nya.