Dua Lipa Pecat Agennya karena Dukung Kampanye Anti-Band Pro-Palestina Kneecap: Musik, Politik, dan Prinsip yang Tak Bisa Dikompromikan

Dualipa-Instagram-
Dua Lipa Pecat Agennya karena Dukung Kampanye Anti-Band Pro-Palestina Kneecap: Musik, Politik, dan Prinsip yang Tak Bisa Dikompromikan
Dunia hiburan internasional kembali dikejutkan oleh gebrakan yang tak biasa. Kali ini, sang pelantun hits global “Levitating” dan “Don’t Start Now”, Dua Lipa, membuat keputusan berani yang mengguncang industri musik: ia resmi memutus hubungan kerja dengan agennya, David Levy, salah satu eksekutif senior di raksasa agensi hiburan dunia, William Morris Endeavour (WME).
Keputusan ini bukan sekadar perubahan manajemen biasa. Ini adalah pernyataan politik. Ini adalah sikap moral. Ini adalah bentuk perlawanan.
Apa pemicunya? Sebuah kampanye gelap yang ditujukan untuk menggagalkan penampilan band rap Irlandia, Kneecap, di panggung legendaris Festival Glastonbury 2024 — semata-mata karena band tersebut vokal mendukung Palestina.
Kneecap: Band yang Tak Takut Bersuara untuk Palestina
Sebelum masuk ke drama Dua Lipa, mari kita kenali dulu siapa Kneecap. Mereka bukan sekadar band musik. Kneecap adalah trio rap dari Belfast, Irlandia Utara, yang memadukan bahasa Gaelik Irlandia dengan lirik-lirik politik tajam. Mereka dikenal sebagai aktivis budaya sekaligus suara perlawanan terhadap ketidakadilan global.
Ketika konflik Israel-Palestina kembali memanas, Kneecap tak tinggal diam. Mereka menyanyikan lagu-lagu protes, mengibarkan bendera Palestina di panggung, dan secara terbuka menyatakan dukungan terhadap rakyat Gaza. Sikap inilah yang memicu kontroversi — dan memicu reaksi dari pihak-pihak yang tak ingin isu Palestina dibawa ke panggung musik.
Surat Rahasia yang Bocor ke Publik
Menurut laporan eksklusif The Mail on Sunday, David Levy — agen yang telah lama menangani karier Dua Lipa — terlibat dalam kampanye internal untuk menekan penyelenggara Glastonbury agar membatalkan penampilan Kneecap. Ia bahkan disebut menandatangani surat resmi yang dikirim ke panitia festival, berisi keberatan atas kehadiran band tersebut.
Namun, surat yang seharusnya bersifat rahasia itu bocor ke publik. Bukan oleh media, tapi oleh seorang staf festival yang merasa tak bisa diam melihat upaya sensor terhadap kebebasan berekspresi.
Dan inilah titik baliknya.
Dua Lipa: “Saya Tidak Bisa Bekerja dengan Orang yang Mendukung Perang”
Sumber dekat Dua Lipa mengungkapkan kepada media bahwa penyanyi 28 tahun itu langsung mengambil sikap tegas begitu mengetahui keterlibatan Levy.
“Dua sangat terbuka dan konsisten dalam dukungannya terhadap Palestina. Ia merasa tak bisa lagi bekerja dengan seseorang yang secara diam-diam mendukung kebijakan perang Israel di Gaza,” ujar sumber tersebut.
“Bagi Dua, ini bukan soal bisnis. Ini soal prinsip. Ia melihat apa yang terjadi di Gaza sebagai genosida — dan ia tak akan berdiam diri,” tambah sumber itu.
Keputusan ini bukan spontan. Dua Lipa telah lama menjadi salah satu artis Barat paling vokal dalam menyuarakan isu Palestina. Ia tak hanya berkicau di media sosial, tapi juga turun langsung dalam aksi nyata.
Dari Surat Terbuka ke Joe Biden, Hingga Gugatan ke Pemerintah Inggris
Pada awal 2024, Dua Lipa bergabung dengan ratusan selebritas dunia — termasuk Jessica Chastain, Cate Blanchett, dan vokalis R.E.M., Michael Stipe — menandatangani surat terbuka kepada Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Isinya tegas: hentikan dukungan militer AS ke Israel, hentikan serangan ke Gaza, dan jamin pembebasan sandera secara damai.
“Anak-anak Gaza tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dunia sedang menyaksikan,” tulis mereka dalam surat itu — kutipan yang kemudian viral di seluruh dunia.
Tak berhenti di situ. Pada Mei 2024, Dua Lipa ikut menggugat kebijakan pemerintah Inggris yang masih menjual senjata ke Israel. Bersama ratusan seniman, ia menekan Perdana Menteri Keir Starmer untuk segera menghentikan ekspor senjata, menyebutnya sebagai bentuk keterlibatan langsung dalam kejahatan perang.
“Menjual senjata ke negara yang melakukan pembantaian sistematis terhadap warga sipil bukan hanya salah secara moral — tapi juga ilegal menurut hukum internasional,” ujar Dua dalam salah satu wawancara tertutup.
Kneecap Tetap Tampil — dan Justru Menjadi Sensasi
Ironisnya, kampanye gelap yang digagas Levy justru gagal total. Kneecap tetap tampil di Glastonbury sesuai jadwal — dan penampilan mereka menjadi salah satu momen paling diingat dalam festival tahun ini.
Mereka tampil dengan latar belakang bendera Palestina, menyanyikan lagu-lagu protes, dan disambut sorak-sorai ribuan penonton. Bahkan ketika ada laporan polisi yang mencoba menyeret mereka ke ranah hukum, investigasi resmi menyimpulkan: tidak ada unsur pidana. Ekspresi seni mereka dilindungi undang-undang.
Bagi Dua Lipa, keberanian Kneecap adalah inspirasi. “Mereka membuktikan bahwa musik bisa menjadi senjata perlawanan. Dan saya bangga berdiri di sisi mereka,” ujar Dua dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Rolling Stone UK (belum dipublikasikan).
Bukan Hanya Dua Lipa — Massive Attack Juga Angkat Kaki
Yang menarik, Dua Lipa bukan satu-satunya artis yang memutus hubungan dengan David Levy karena isu ini. Band legendaris asal Bristol, Massive Attack, juga dikabarkan telah menghentikan kerja sama dengan agen yang sama.
Alasannya? Serupa. Massive Attack — yang dikenal sebagai salah satu band paling politis dalam sejarah musik — menolak bekerja dengan agen yang terlibat dalam upaya membungkam suara pro-Palestina.
Sebelumnya, Massive Attack bahkan menarik seluruh katalog musik mereka dari Spotify sebagai bentuk protes terhadap investasi pendiri platform itu, Daniel Ek, di perusahaan teknologi militer Helsing — yang disebut memasok teknologi pengawasan ke militer Israel.
Mereka juga mendesak Universal Music Group (UMG) untuk menarik musik mereka dari semua platform streaming yang beroperasi di Israel.
Musik Bukan Sekadar Hiburan — Tapi Alat Perlawanan
Kasus Dua Lipa dan Kneecap membuktikan bahwa batas antara hiburan dan politik semakin kabur. Musisi-musisi besar kini tak lagi ingin hanya menjadi penghibur. Mereka ingin menjadi agen perubahan.
“Dulu, artis diminta diam soal politik. Sekarang, diam justru dianggap sebagai bentuk kompromi terhadap ketidakadilan,” ujar seorang pengamat budaya populer, Dr. Elena Martinez, dalam wawancara dengan BBC.