Polemik PT SJL Benowo: DPRD Surabaya Desak Pemkot Tegas Tentukan Status Usaha – Industri Kerajinan atau Pabrik Berbahaya?

Polemik PT SJL Benowo: DPRD Surabaya Desak Pemkot Tegas Tentukan Status Usaha – Industri Kerajinan atau Pabrik Berbahaya?

Sby-Instagram-

Polemik PT SJL Benowo: DPRD Surabaya Desak Pemkot Tegas Tentukan Status Usaha – Industri Kerajinan atau Pabrik Berbahaya?

Polemik yang melingkupi keberadaan PT Suka Jadi Logam (SJL) di kawasan Benowo, Surabaya, kembali mencuat ke permukaan. Bukan hanya warga yang resah, tapi juga legislatif daerah mulai angkat bicara. Kali ini, Komisi C DPRD Surabaya tegas meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya segera mengambil sikap tegas: tentukan secara resmi klasifikasi usaha PT SJL — apakah masih masuk kategori industri kerajinan rumahan, atau sudah berkembang menjadi pabrik skala besar yang wajib tunduk pada aturan ketat lingkungan dan tata ruang.



Masalahnya bukan sekadar soal bau menyengat yang mengganggu kenyamanan warga sekitar. Lebih dari itu, ini menyangkut kepatuhan terhadap regulasi, perlindungan hak warga atas lingkungan sehat, serta kepastian hukum bagi pelaku usaha. Jika dibiarkan mengambang, polemik ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi tata kelola industri di Surabaya.

Bau Menyengat & Izin yang “Abu-Abu”
Sejak beberapa bulan terakhir, warga di sekitar lokasi PT SJL Benowo kerap mengeluhkan bau tak sedap yang menyengat hidung, terutama di pagi dan sore hari. Bau tersebut diduga kuat berasal dari proses peleburan logam — kemungkinan besar emas — yang dilakukan perusahaan. Namun, ketika warga mengecek izin operasional PT SJL, mereka menemukan fakta mengejutkan: izin yang dimiliki perusahaan masih tercatat sebagai industri kerajinan kecil, bukan pabrik logam berskala besar.

“Ini yang bikin bingung. Di satu sisi, aktivitasnya seperti pabrik — bau, asap, limbah. Di sisi lain, izinnya masih kelas industri rumahan. Ini jelas tidak sinkron,” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya.


Kunci Masalah: Klasifikasi Usaha Harus Diperjelas
Menanggapi kegelisahan warga, Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Herlina Harsono Njoto, menegaskan bahwa akar masalahnya terletak pada klasifikasi usaha. Menurutnya, selama status PT SJL belum diperjelas, maka semua persoalan lain — mulai dari izin lingkungan, uji emisi, hingga lokasi operasional — akan terus mengambang.

“Yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah klasifikasinya. Apakah ini masih industri kerajinan atau sudah masuk kategori pabrik? Karena dari situ, izin dan persyaratan perizinannya akan berbeda,” kata Herlina dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPRD Surabaya, Kamis (18/9/2025).

Politisi perempuan dari Partai Demokrat ini menjelaskan, berdasarkan dokumen perizinan yang dikeluarkan Pemkot, PT SJL hanya diizinkan beroperasi sebagai industri kerajinan dengan luas maksimal 340 meter persegi. Namun, hasil peninjauan lapangan menunjukkan bahwa area operasional perusahaan kini telah melampaui 1.000 meter persegi — hampir tiga kali lipat dari batas yang diizinkan.

Luas Tanah vs Luas Bangunan: Mana yang Jadi Patokan?
Herlina mempertanyakan dasar penghitungan luas yang digunakan Pemkot. Apakah yang dimaksud adalah luas tanah, luas bangunan, atau luas area produksi?

“Ini harus diluruskan. Apakah hitungan itu dari luas tanah atau bangunan? Kalau memang sudah seribu sekian meter, jelas harus ada penyesuaian izin. Tidak bisa dipaksakan masuk kategori industri kecil,” tegasnya.

Jika PT SJL tetap dipaksakan masuk kategori industri kerajinan padahal faktanya sudah melebihi batas, maka ini bisa dianggap sebagai pelanggaran administratif serius. Sebaliknya, jika ternyata sudah memenuhi syarat sebagai pabrik, maka keberadaannya di kawasan perdagangan dan jasa — bukan kawasan industri — jelas melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya.

Pabrik Wajib di Kawasan Industri, Bukan di Tengah Permukiman
Herlina menekankan, jika PT SJL sudah memenuhi kriteria pabrik — baik dari sisi luas area, kapasitas produksi, maupun dampak lingkungan — maka tidak ada kompromi: perusahaan wajib dipindahkan ke kawasan industri yang telah ditetapkan.

“Kalau pabrik, mutlak harus berada di kawasan industri. Tidak boleh dekat dengan pemukiman. Ini demi keselamatan warga, kesehatan lingkungan, dan keberlanjutan usaha itu sendiri,” imbuhnya.

Ia menambahkan, keberadaan pabrik logam di tengah permukiman bukan hanya berpotensi menimbulkan polusi udara dan bau, tapi juga risiko kecelakaan kerja, kebocoran bahan kimia, hingga dampak jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat — terutama anak-anak dan lansia.

DPRD Surabaya: Netral, Tapi Tegas Lindungi Hak Semua Pihak
Meski mendapat tekanan dari warga, Herlina menegaskan bahwa DPRD Surabaya tidak akan memihak secara sepihak — baik ke warga maupun ke pengusaha.

“Kami tidak ingin hanya membela warga atau hanya membela industri. Keduanya harus sama-sama dilindungi. Warga berhak atas kesehatan dan keselamatan lingkungan. Sementara industri juga berhak atas kepastian hukum dan iklim usaha yang sehat,” ujarnya.

Menurutnya, solusi terbaik adalah transparansi dan kepastian hukum. Jika PT SJL memang layak naik kelas menjadi pabrik, maka Pemkot harus membantu proses relokasi atau penyesuaian izin. Jika tidak, maka perusahaan harus kembali ke skala industri kecil — termasuk membatasi luas operasional dan teknologi produksi.

Uji Emisi Masih “Asal-Asalan”, Butuh Pendekatan Ilmiah
Selain soal klasifikasi, Herlina juga mengkritik metode uji emisi yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya. Ia menilai, uji emisi yang dilakukan selama ini masih bersifat acak (random) dan tidak representatif.

“Uji emisi dilakukan kapan? Jam berapa? Apakah dilakukan saat warga sedang mengeluh? Atau justru di jam-jam sepi? Ini penting, karena polusi bisa bersifat fluktuatif,” katanya.

Ia menyarankan agar uji emisi dilakukan secara berkala, terjadwal, dan transparan, dengan melibatkan pihak independen serta perwakilan warga. Hasilnya harus dipublikasikan agar semua pihak bisa mengawasi.

“Sekali lagi, penentuan klasifikasi ini menjadi hulunya. Setelah itu, baru bisa ditarik ke soal perizinan, limbah, AMDAL, hingga pengawasan rutin. Jangan terbalik,” pungkasnya.

Baca juga: Berapa Harga Pocky Raksasa di Indomaret? Benarkah Isinya Tidak Sesuai Ekspektasi Natizen?

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya