Siapa Anak dan Istri Harjo Sutanto? Sang Pendiri Wings yang Meninggal Dunia di Usia 102 Tahun, Benarkah Bukan Orang Sembarangan?

Harjo-Instagram-
Siapa Anak dan Istri Harjo Sutanto? Sang Pendiri Wings yang Meninggal Dunia di Usia 102 Tahun, Benarkah Bukan Orang Sembarangan?
Dunia bisnis Indonesia kehilangan salah satu tokoh paling legendarisnya. Harjo Sutanto, pendiri sekaligus arsitek utama Wings Group, meninggal dunia pada Rabu, 10 September 2025, di usia yang sangat lanjut—102 tahun. Kepastian ini dikonfirmasi oleh keluarga besar Wings Group melalui pernyataan resmi yang dirilis pada Kamis pagi. Ia meninggal tenang di rumahnya di Surabaya, setelah menjalani masa pensiun panjang yang penuh makna, tanpa rasa sakit yang berkepanjangan.
Meninggalnya Harjo Sutanto bukan sekadar duka keluarga, tapi juga duka nasional. Ia adalah simbol ketangguhan wirausaha lokal, sosok yang mampu mengubah ide sederhana menjadi imperium bisnis yang menyaingi raksasa global seperti Unilever dan Indofood. Di usia senja, ia tetap menjadi miliarder tertua di Indonesia yang tercatat dalam daftar Forbes Real Time Billionaire—sebuah prestasi langka yang tak mudah ditiru.
Dari Tulungagung ke Surabaya: Jejak Seorang Pengusaha yang Tak Pernah Menyerah
Joseph Harjo Sutanto lahir pada 1926 di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, dari keluarga pedagang kecil yang sederhana. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat ayahnya berkeliling pasar menjual hasil pertanian dan kerajinan tangan. “Dari situ, saya belajar bahwa uang tidak datang dari duduk diam,” ujar Harjo dalam sebuah wawancara eksklusif bersama Kompas pada 2018.
Pada 1948, tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Harjo memutuskan untuk merantau ke Surabaya—kota yang sedang bangkit pasca-perang. Ia membawa modal awal hanya Rp50 ribu (setara dengan harga seekor ayam saat itu) dan semangat tak terbendung. Di kota ini, ia bertemu dengan Johannes Ferdinand Katuari, seorang lulusan teknik kimia yang memiliki minat mendalam pada produk pembersih rumah tangga.
Bersama Katuari, mereka mendirikan usaha kecil bernama Thong Fat pada tahun 1949. Nama “Thong Fat” sendiri berasal dari bahasa Hokkien, yang berarti “keberuntungan besar”—sebuah harapan yang kemudian jadi kenyataan.
Sabun Batangan Pertama: Cikal Bakal Imperium Wings
Pabrik pertama Thong Fat berlokasi di sebuah rumah kontrakan di Jalan Kalisosok Kidul No. 2, Surabaya. Di ruang tamu yang diubah jadi area produksi, Harjo dan Katuari meracik sabun batangan dari bahan dasar minyak kelapa, soda api, dan pewangi alami. Prosesnya manual: adonan dituang ke cetakan kayu, dikeringkan di bawah sinar matahari, lalu dikemas dengan kertas minyak.
Produk pertama mereka diberi nama Wingsoap—mengambil inspirasi dari kata “wing” yang melambangkan kebebasan dan terbang tinggi. Tidak ada iklan TV, tidak ada media sosial. Yang ada hanyalah sepasang kaki yang berjalan dari pintu ke pintu, dari gang ke gang, mengetuk rumah-rumah penduduk untuk menawarkan sabun dengan harga lebih murah dibanding merek impor.
“Kami tidak punya uang untuk iklan, tapi kami punya hati untuk mendengar pelanggan,” kenang Harjo suatu kali. Strategi door-to-door selling ini ternyata jitu. Warga Surabaya yang sedang bangkit pasca-kemerdekaan menyukai produk lokal yang terjangkau dan berkualitas. Permintaan Wingsoap meledak. Dalam waktu lima tahun, Thong Fat telah mengekspor produknya ke Madura, Bali, dan bahkan ke Malaysia.
Dari Sabun ke Raksasa FMCG: Perjalanan 70 Tahun Membangun Wings Group
Tak puas hanya dengan sabun, Harjo Sutanto mulai diversifikasi produk. Pada 1960-an, ia memperkenalkan deterjen bubuk pertama buatan Indonesia, Wings Detergen, yang langsung diserbu ibu-ibu rumah tangga karena efektif membersihkan noda tanpa harus direndam berjam-jam.
Pada 1970-an, Wings masuk ke segmen makanan ringan dan minuman. Produk-produk seperti Sedaap (mie instan), Lemonilo (sirup), dan Cimory (yogurt) pun diluncurkan. Meski sempat dianggap “terlalu ambisius” oleh para pesaing, strategi Harjo selalu konsisten: harga murah, kualitas bisa dipercaya, dan distribusi sampai ke pelosok.
Di era 1990-an, saat perusahaan multinasional mulai masuk ke Indonesia, Wings justru semakin kuat. Harjo menolak menjual saham ke investor asing. Ia percaya, “Kalau kita ingin bangsa ini mandiri, maka perusahaan kita harus dimiliki oleh anak bangsa.”
Hasilnya? Wings Group kini menjadi salah satu pemain terbesar di industri Fast Moving Consumer Goods (FMCG) Tanah Air. Produknya tersedia di warung-warung desa, minimarket modern, hingga e-commerce. Mie Sedaap saja, menurut data Nielsen 2024, berhasil menjual lebih dari 1,2 miliar bungkus per tahun di Indonesia dan ekspor ke 45 negara, termasuk Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa.
Kekayaan Bersih Rp8,6 Triliun: Miliarder Tertua yang Masih di Daftar Forbes
Meski jarang muncul di publik, kekayaan Harjo Sutanto tak pernah surut. Menurut laporan Forbes edisi 2020, kekayaan bersihnya mencapai USD 530 juta atau sekitar Rp8,64 triliun (dengan kurs Rp16.300 per dolar). Angka ini membuatnya masuk dalam daftar 50 Orang Terkaya di Indonesia versi Forbes, dan secara konsisten masuk dalam Forbes Real-Time Billionaires hingga beberapa bulan sebelum kematiannya.
Yang menarik, kekayaan Harjo bukan berasal dari saham yang diperdagangkan di bursa. Seluruh kepemilikan Wings Group masih berada di tangan keluarga Sutanto. Ia memilih model bisnis privat yang ketat—tidak IPO, tidak go public, tidak tergantung pada pasar modal. Ini membuat Wings Group tetap independen, bebas dari tekanan laba jangka pendek, dan fokus pada pertumbuhan jangka panjang.
“Saya tidak butuh jadi orang terkaya. Saya ingin jadi orang yang paling bermanfaat bagi banyak orang,” ucapnya dalam pidato penutupan Kongres Pengusaha Nasional 2022.
Warisan Tak Tergantikan: 30.000 Karyawan dan Ribuan UMKM Mitra
Di balik kesuksesan finansial, yang paling diingat orang adalah dampak sosialnya. Wings Group kini mempekerjakan lebih dari 30.000 karyawan secara langsung, dan puluhan ribu lagi melalui mitra distribusi, petani kelapa sawit, pengusaha warung, dan UMKM pengepul bahan baku.
Di Jawa Timur, misalnya, Wings bekerja sama dengan lebih dari 1.200 petani kelapa untuk memasok minyak goreng. Di Sulawesi, ribuan petani cengkeh menjadi pemasok bahan baku untuk produk aromatik Wings. Semua ini diciptakan oleh Harjo demi membangun ekosistem ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Ia juga aktif mendukung pendidikan vokasional lewat program pelatihan kewirausahaan di 17 perguruan tinggi di Indonesia. “Anak muda jangan cuma cari kerja. Ciptakan lapangan kerja,” serunya.