KABAR DUKA! Ricky Hatton, Sang Hitman dari Manchester Ditemukan Meninggal di Usia 46 Tahun pada 14 September 2025: Legenda Tinju yang Tak Akan Pernah Terlupakan

Ricky-Instagram-
KABAR DUKA! Ricky Hatton, Sang Hitman dari Manchester Ditemukan Meninggal di Usia 46 Tahun pada 14 September 2025: Legenda Tinju yang Tak Akan Pernah Terlupakan
Dunia tinju kehilangan salah satu sosok paling bersemangat, paling autentik, dan paling dicintai. Ricky Hatton — petinju legendaris dengan julukan “The Hitman” — ditemukan meninggal dunia di kediamannya di Hyde, Greater Manchester, pada 14 September 2025, dalam usia yang terlalu muda: 46 tahun. Kabar duka ini pertama kali dikonfirmasi oleh Manchester Evening News, media lokal yang selama puluhan tahun menjadi saksi bisu perjalanan karier sang juara.
Kematian Hatton bukan sekadar kehilangan seorang atlet. Ini adalah kehilangan simbol — simbol semangat kelas pekerja, simbol keberanian melawan segala rintangan, dan simbol cinta tanpa syarat antara petinju dan publiknya. Di ring, ia bukan hanya bertarung. Ia menyatu dengan ribuan suporter yang berteriak hingga serak, yang menangis, yang berdiri, yang bernyanyi, yang hidup sepenuhnya bersamanya. Mereka disebut “Hatton’s Army” — sebuah pasukan fanatik yang tak hanya mendukung, tapi merasakan setiap pukulan, setiap langkah, setiap napasnya.
Dari Hyde ke Dunia: Kisah Seorang Anak Kota yang Menjadi Raja Ring
Lahir di Hyde, sebuah kota industri di pinggiran Manchester, Ricky Hatton tumbuh di lingkungan yang mengajarkan nilai kerja keras, kesederhanaan, dan kebanggaan akan identitas. Bukan dari keluarga kaya atau latar belakang olahraga elit, Hatton justru membangun reputasinya dari bawah — dengan keringat, darah, dan tekad tak tergoyahkan. Ia masuk ke dunia tinju profesional pada 1997, dengan rekor debut yang gemilang: menang KO di ronde pertama.
Selama karier profesionalnya yang berlangsung hingga 2012, Hatton mencatatkan rekor impresif: 48 pertandingan, 45 kemenangan (32 KO), 2 kekalahan, dan 1 seri. Namun, angka-angka itu hanya sebagian kecil dari ceritanya. Yang lebih penting adalah bagaimana ia memenangkan hati penonton.
Ia menjadi juara dunia di dua kelas berbeda: gelar IBF kelas super ringan (130 pon) dan WBA kelas welter (147 pon). Tapi bukan gelar yang membuatnya abadi — melainkan gaya bertarungnya: ofensif, agresif, tanpa kompromi. Hatton tidak pernah bermain aman. Ia datang untuk menang, dan jika harus mati di ring, ia siap. Gaya bertarungnya yang seperti badai ini menjadikan setiap pertandingannya sebagai acara budaya, bukan sekadar olahraga.
Pertarungan yang Mengubah Sejarah: Tszyu, Mayweather, Pacquiao
Beberapa pertarungan Hatton menjadi momen-momen ikonik dalam sejarah tinju modern:
Lawan Kostya Tszyu (2005): Dalam duel epik yang ditonton jutaan orang di seluruh dunia, Hatton mengalahkan petinju Rusia yang dianggap tak terkalahkan. Ia menang KO di ronde ke-11, membawa pulang gelar juara dunia dan membangkitkan semangat nasional Inggris. Saat peluit berbunyi, ribuan fans di Manchester langsung berpesta di jalanan — sebuah adegan yang kemudian menjadi simbol kebangkitan kembali tinju Inggris.
Lawan Floyd Mayweather Jr. (2007): Meski kalah secara teknis, Hatton tetap menjadi pahlawan. Ia bertahan selama 12 ronde melawan petinju paling sempurna sepanjang masa, dengan wajah berdarah, mata bengkak, tapi tetap tersenyum. Penonton memberinya standing ovation — sesuatu yang sangat jarang terjadi bagi pihak yang kalah.
Lawan Manny Pacquiao (2009): Dalam pertarungan yang menjadi penutup karier puncaknya, Hatton menghadapi fenomena Filipina yang sedang naik daun. Meski kalah TKO di ronde kedua, ia masih berdiri tegak saat peluit berbunyi, mengangkat tangan kepada para pendukungnya — seolah berkata, “Aku tidak menang, tapi aku tidak kalah.”
Setiap pertarungan Hatton bukan hanya laga tinju. Ia adalah teater, adalah ritual, adalah perayaan kehidupan.
Setelah Ring: Perjuangan yang Tak Terlihat
Namun, di balik sorotan lampu dan sorakan ribuan orang, Hatton menyimpan luka yang tak terlihat.
Setelah pensiun, ia mengalami pergolakan emosional yang dalam. Depresi, kecanduan alkohol, dan gangguan kecemasan menjadi musuh baru yang jauh lebih sulit dilawan daripada lawan di ring. Ia terbuka tentang perjuangannya dalam wawancara televisi, podcast, dan bahkan dalam film dokumenter berjudul “Hatton: The Man Behind the Gloves” (2020).
“Saya bisa menghadapi 12 ronde dengan Mayweather,” kata Hatton dalam wawancara itu, “tapi saya tidak bisa menghadapi hari-hari tanpa cahaya.”
Keterbukaannya ini menjadi titik balik. Hatton bukan lagi sekadar petinju. Ia menjadi juru bicara kesehatan mental di dunia olahraga — seorang pejuang yang berperang bukan dengan sarung tangan, tapi dengan kejujuran. Ia berbicara di sekolah-sekolah, mendukung kampanye Mind UK, dan bahkan membantu petinju muda yang mengalami kejatuhan psikologis.
“Jika saya bisa membantu satu orang untuk tidak bunuh diri, maka semua pukulan saya di ring punya makna,” ucapnya.
Dunia Berduka: Para Legenda, Bintang Sepak Bola, dan Fans Menyampaikan Duka
Kabar kepergiannya memicu gelombang duka global. Media internasional seperti The Guardian, BBC Sport, dan ESPN memuat artikel panjang mengenai warisan Hatton. The Guardian menyebutnya sebagai “the last true showman of British boxing” — pesulap terakhir yang mengubah pertandingan tinju menjadi tontonan spektakuler yang tak bisa diabaikan.
Di media sosial, ribuan postingan bermunculan. Petinju legendaris seperti Lennox Lewis, Joe Calzaghe, dan Amir Khan mengunggah foto-foto bersama Hatton dengan tulisan: “RIP Legend. You fought with your heart, not just your fists.”
Tidak hanya dari dunia tinju. Bintang sepak bola Manchester City, Phil Foden — yang tumbuh besar di Hyde dan sering menyaksikan pertandingan Hatton saat masih kecil — turut berduka. “Saya dulu nonton Ricky di TV, pakai kaosnya, tiru gaya tarungnya di halaman rumah. Dia bukan hanya idola, dia adalah inspirasi bahwa seorang anak dari kota kecil bisa menjadi raja dunia. Terima kasih, Ricky. Kamu akan selalu hidup di hati kami.”
Puluhan klub tinju di Inggris, dari Manchester hingga Liverpool, menggelar momen diam selama satu menit. Para pelatih, petinju muda, bahkan anak-anak kecil yang belum pernah melihatnya bertanding, ikut berdoa dan menulis pesan di dinding penghormatan yang dibangun di luar gym tempat Hatton pernah berlatih.