Zita Anjani Absen di Seminar Unpad, Okky Madasari: Jabatan Utusan Presiden Pariwisata Harus Dihapus! — Ini Fakta dan Reaksi yang Menggemparkan

Zita Anjani Absen di Seminar Unpad, Okky Madasari: Jabatan Utusan Presiden Pariwisata Harus Dihapus! — Ini Fakta dan Reaksi yang Menggemparkan

Zita-Instagram-

Zita Anjani Absen di Seminar Unpad, Okky Madasari: Jabatan Utusan Presiden Pariwisata Harus Dihapus! — Ini Fakta dan Reaksi yang Menggemparkan

Sebuah insiden yang awalnya tampak biasa justru memicu gelombang kemarahan publik. Zita Anjani, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Utusan Presiden Bidang Pariwisata, absen tanpa kabar jelas dari seminar Magister Pariwisata Universitas Padjajaran (Unpad) pada 26 Agustus 2025 lalu. Namun bukan sekadar ketidakhadiran biasa — ini adalah simbol dari ketidakseriusan, ketidakakuntabelan, dan krisis kepercayaan terhadap jabatan-jabatan strategis yang dibentuk lebih karena pertimbangan politik daripada kompetensi.



Ketidakhadiran yang Tak Masuk Akal
Menurut informasi resmi dari panitia seminar Magister Pariwisata Unpad, Zita Anjani awalnya dikonfirmasi sebagai pembicara utama. Bahkan, permintaan khusus diajukan oleh timnya: penyediaan teleprompter, daftar nama peserta yang hadir, serta penolakan terhadap sesi tanya jawab — indikasi kuat bahwa ia menginginkan panggung yang terkendali, tanpa risiko kritik atau tantangan intelektual.

Namun, pada H-1 acara, tak ada konfirmasi lanjutan. Tidak ada surat pemberitahuan pembatalan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada alasan yang logis. Hanya keheningan. Padahal, seminar tersebut dihadiri oleh puluhan mahasiswa, dosen, praktisi pariwisata, hingga perwakilan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Acara yang seharusnya menjadi ruang dialog strategis untuk pengembangan pariwisata Indonesia berubah menjadi ajang kekecewaan.

Okky Madasari: “Ini Bukan Kesalahan Kecil, Ini Simbol Korupsi Etika”
Reaksi datang cepat dari aktivis budaya dan akademisi ternama, Okky Madasari. Dalam unggahan resminya di media sosial pada Senin, 15 September 2025, ia menyebut insiden ini bukan sekadar ketidakhadiran, melainkan “puncak dari sebuah sistem yang meremehkan ilmu pengetahuan dan menganggap jabatan publik sebagai hadiah politik.”


“Kalau seseorang yang ditunjuk sebagai ‘Utusan Presiden Bidang Pariwisata’ saja tidak bisa hadir ke seminar akademik, apakah ia benar-benar peduli pada pariwisata? Atau hanya ingin memperindah CV politiknya?” tanya Okky dengan nada tajam.

Ia menekankan bahwa jabatan “Utusan Presiden” sejatinya bukanlah posisi simbolis belaka — ia harus memiliki tanggung jawab nyata, kontribusi konkret, dan akuntabilitas kepada rakyat. “Jika tidak, maka jabatan itu hanyalah tempat sampah politik yang memakan anggaran negara tanpa hasil,” tambahnya.

Dan inilah yang membuat Okky mengeluarkan pernyataan paling mencengangkan:

“Tolong jabatan ini segera dihapus.”

Bukan hanya itu. Ia juga menyerukan boikot institusional terhadap Zita Anjani.

“Tolong kampus-kampus di seluruh Indonesia enggak usah undang lagi orang seperti ini. Jangan jadikan mereka sebagai ‘role model’ bagi generasi muda. Mereka bukan inspirator, mereka adalah contoh buruk.”

Mengapa Jabatan “Utusan Presiden” Jadi Kontroversial?
Jabatan “Utusan Presiden” memang bukan hal baru dalam sistem birokrasi Indonesia. Namun, semakin banyaknya jabatan serupa yang diisi oleh tokoh politik tanpa rekam jejak profesional di bidangnya, membuat publik mulai bertanya: Apakah ini bagian dari strategi rekrutmen berbasis loyalitas, bukan kompetensi?

Dalam kasus Zita Anjani, ia adalah anggota DPR RI dari Fraksi PAN, putri dari Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Ia tidak memiliki latar belakang akademik di bidang pariwisata, tidak pernah memimpin proyek pariwisata nasional, dan belum pernah menghasilkan satu pun kebijakan atau program nyata yang bisa diukur dampaknya terhadap industri pariwisata Indonesia.

Padahal, sektor pariwisata adalah tulang punggung ekonomi nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini menyumbang lebih dari 5% PDB Indonesia dan menyerap lebih dari 13 juta lapangan kerja. Di tengah upaya pemerintah membangkitkan wisatawan mancanegara pasca-pandemi, kehadiran figur seperti Zita — yang gagal hadir bahkan ke seminar akademik — justru melemahkan kredibilitas kebijakan pemerintah.

Zita Anjani Berdalih: “Ada Konflik Jadwal” — Tapi Apa Itu?
Saat dimintai klarifikasi oleh media, Zita Anjani memberikan penjelasan singkat: “Saya batal hadir karena ada jadwal penting lain yang tidak bisa saya tolak.” Namun, hingga kini, ia tidak pernah menyebutkan apa itu “jadwal penting” tersebut. Tidak ada agenda resmi yang bisa diverifikasi. Tidak ada siaran pers dari kantor presiden. Tidak ada dokumen pendukung.

Ini bukan sekadar ketidaktahuan — ini adalah bentuk ketidaktransparanan. Dalam dunia publik, ketika seseorang menolak menjelaskan alasan ketidakhadirannya, maka yang tersisa adalah asumsi: ia tidak menganggap acara itu penting. Dan jika ia tidak menganggap seminar akademik tentang pariwisata penting, lalu apa yang ia anggap penting?

Respons Akademik: Mahasiswa Unpad Kecewa, Dosen Marah
Para mahasiswa Magister Pariwisata Unpad yang hadir mengaku kecewa. “Kami sudah menyiapkan pertanyaan mendalam tentang digitalisasi destinasi wisata, sustainable tourism, dan branding Indonesia di kancah global. Kami ingin belajar dari pemimpin yang seharusnya jadi contoh. Tapi malah dikhianati,” ujar Rina, salah satu peserta.

Seorang dosen senior di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Dr. Ahmad Fauzi, mengatakan:

“Kami tidak mengundang tokoh politik untuk dipuja. Kami mengundang mereka untuk memberi kontribusi nyata. Kalau mereka hanya mau jadi bintang foto dan tidak mau ambil risiko diskusi, maka kami lebih baik mengundang praktisi lapangan yang sudah membuktikan diri.”

Survei Publik: 87% Warga Ingin Jabatan “Utusan Presiden” Dihapus
Lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei nasional pada 14 September 2025 tentang persepsi publik terhadap jabatan “Utusan Presiden”. Hasilnya mengejutkan: 87% responden menyatakan bahwa jabatan tersebut tidak produktif dan sebaiknya dihapus. Hanya 9% yang mendukung kelanjutannya, dan mayoritas dari mereka adalah petinggi partai politik.

Survei ini juga menunjukkan bahwa masyarakat semakin cerdas dalam membedakan antara “jabatan simbolis” dan “jabatan fungsional”. Mereka tidak lagi puas dengan label “Utusan Presiden” yang hanya digunakan untuk memperkuat kekuasaan politik, tanpa output nyata.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Presiden Prabowo Subianto, yang secara langsung menunjuk Zita Anjani, kini berada di persimpangan. Jika ia diam, maka ia dianggap mendukung sistem yang korup secara etika. Jika ia bereaksi, maka ia harus mengakui bahwa ada kekeliruan dalam proses rekrutmen elitnya.

Baca juga: Siapa Nisa Nur Hafizah? Bocah 4 Tahun yang Ditemukan Tewas dalam Karung, Rumah Pelaku Pembunuhan Dibongkar Warga

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya