Profil Tampang Heri Hermansyah Rektor UI yang Diteriaki Zionis Oleh Mahasiswa saat Acara Wisuda, Lengkap: Umur, Agama dan Akun IG

Profil Tampang Heri Hermansyah Rektor UI yang Diteriaki Zionis Oleh Mahasiswa saat Acara Wisuda, Lengkap: Umur, Agama dan Akun IG

Heri-Instagram-


Profil Tampang Heri Hermansyah Rektor UI yang Diteriaki Zionis Oleh Mahasiswa saat Acara Wisuda, Lengkap: Umur, Agama dan Akun IG
Wisuda UI Berubah Jadi Aksi Protes: Zionis! Teriak Mahasiswa, Rektor Heri Hermansyah Dikecam Hingga Puncak Kemarahan
Upacara wisuda Universitas Indonesia (UI) yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan, harapan, dan kebanggaan bagi ribuan mahasiswa dan keluarganya, berubah menjadi panggung perlawanan politik yang menggemparkan. Di tengah gemuruh tepuk tangan yang seharusnya menyambut para lulusan, suara teriakan keras “ZIONIS!” bergema di seluruh ruang Gedung Auditorium UI, Depok. Tidak ada yang menyangka bahwa sebuah permintaan donasi untuk program “Dana Abadi UI” akan memicu ledakan amarah yang telah lama tertahan.

Dan yang menjadi sasaran utama kemarahan itu? Rektor UI, Prof. Dr. Heri Hermansyah, M.Sc., yang muncul di panggung dengan senyum khasnya—tapi justru disambut oleh ratusan suara protes, poster-hitam, dan spanduk bertuliskan “Kami Bukan Sumbangan, Kami Adalah Hak!”



Dari Wisuda ke Revolusi: Ketika Kebijakan Menyakiti Hati
Acara yang biasanya dipenuhi balutan toga warna-warni dan air mata bahagia orang tua ini tiba-tiba berubah menjadi arena perjuangan. Semua bermula ketika MC meminta hadirin untuk “berpartisipasi dalam program Dana Abadi UI”—sebuah inisiatif penggalangan dana untuk pembangunan infrastruktur akademik. Namun, bagi banyak wisudawan, ini bukan sekadar permintaan derma. Ini adalah titik puncak dari rasa sakit hati yang telah menumpuk selama bertahun-tahun.

“Kami sudah bayar Rp1.100.000 untuk biaya wisuda. Sekarang diminta lagi? Apa ini pendidikan atau bisnis?” ujar Rizky, wisudawan Fakultas Hukum UI yang berdiri tegak di barisan depan, suaranya terdengar jelas melalui mikrofon darurat yang dibawa temannya.

Biaya wisuda yang dinilai tidak proporsional—terlebih karena sebagian besar peserta berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah—telah lama menjadi sorotan. Ditambah dengan permintaan donasi tambahan tanpa transparansi jelas, maka muncullah persepsi: kampus ini tidak peduli pada kesulitanmu, ia hanya ingin uangmu.


IPI: Kebijakan yang Mengubur Semangat Pendidikan Inklusif
Bukan kali ini saja mahasiswa UI bersuara. Sejak tahun 2021, kebijakan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang diterapkan di bawah kepemimpinan Heri Hermansyah menjadi magnet kontroversi. IPI, yang awalnya diperkenalkan sebagai “sumbangan sukarela” untuk mahasiswa jalur mandiri, ternyata berubah menjadi pungutan wajib yang dibebankan secara sistematis—bahkan kepada mereka yang tidak mampu membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal) saja.

Laporan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI pada 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 68% mahasiswa jalur mandiri merasa terbebani secara finansial akibat IPI, dengan rata-rata pembayaran mencapai Rp7–10 juta per semester. Padahal, UI adalah kampus negeri yang seharusnya menjadi simbol pendidikan gratis dan inklusif, warisan dari semangat Soe Hok Gie dan para pejuang demokrasi lainnya.

Yang lebih memprihatinkan, setiap aksi mahasiswa yang menolak IPI—baik itu demonstrasi damai, petisi daring, hingga diskusi publik—selalu dihadapi dengan penindasan. Aparat keamanan kampus kerap kali datang membubarkan aksi dengan cara-cara represif: penyitaan spanduk, pemutusan aliran listrik di ruang rapat, hingga intimidasi terhadap aktivis mahasiswa.

“Kami bukan penjahat. Kami hanya ingin hak kami sebagai mahasiswa didengar. Tapi yang kami dapatkan malah polisi kampus dan ancaman skorsing,” kata Nisa, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang sempat diberhentikan sementara karena ikut dalam unjuk rasa 2023.

Isu Zionisme: Ketika Akademik Dipolitisasi
Namun, masalah tidak berhenti di ranah finansial. Di balik kemarahan atas IPI dan biaya wisuda, ada satu luka yang jauh lebih dalam: kepercayaan terhadap integritas moral UI.

Sejak 2022, UI sering dihujat karena mengundang tokoh-tokoh asing yang diduga memiliki hubungan erat dengan agenda pro-Israel, termasuk akademisi dari institusi yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Palestina. Salah satunya adalah seminar “Kebijakan Luar Negeri Israel dan Dampaknya terhadap Pendidikan Tinggi” yang diadakan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya pada Oktober 2023.

Kegiatan itu, meski diklaim sebagai “diskusi akademik”, dianggap sebagai bentuk legitimasi terhadap kebijakan kolonial Israel. Kelompok mahasiswa pro-Palestina seperti “Mahasiswa Peduli Palestina UI” (MPPUI) pun langsung bereaksi. Mereka menggelar aksi doa bersama, pembacaan puisi tentang Gaza, dan bahkan menggantung patung boneka bernama “Heri the Zionist” di depan rektorat.

“Kami tidak bisa diam ketika kampus yang seharusnya menjadi tempat mencari kebenaran justru menjadi panggung propaganda kekerasan,” ujar Ahmad, koordinator MPPUI, saat diwawancarai usai acara wisuda.

Ketika Heri Hermansyah muncul di panggung wisuda, beberapa mahasiswa langsung mengibarkan bendera Palestina dan membentangkan spanduk bertuliskan:

“UI Jangan Jadi Alat Propaganda Zionis! Kembali ke Semangat Pancasila!”

Dan saat itulah, teriakan “ZIONIS!” meledak—serempak, bulat, tak terbendung. Suara itu bukan sekadar emosi sesaat. Itu adalah jeritan dari generasi yang merasa dikhianati.

Rektor vs Rakyat: Siapa yang Benar-Benar Mewakili UI?
Heri Hermansyah, yang sebelumnya dikenal sebagai sosok akademisi teknokrat dengan latar belakang manajemen pendidikan, kini menjadi simbol otoritarianisme akademik. Ia tidak pernah secara terbuka menjawab kritik terhadap IPI, tidak pernah mengundang mahasiswa untuk dialog terbuka, dan justru memperkuat struktur birokrasi yang justru mengisolasi suara-suara kritis.

Padahal, UI adalah kampus dengan sejarah panjang sebagai pusat pergerakan mahasiswa. Dari gerakan 1966 hingga reformasi 1998, UI selalu menjadi garda depan perubahan. Kini, justru mahasiswa yang dulu menjadi tulang punggung perjuangan itu merasa dijauhkan—dianggap sebagai “beban” yang harus diatur, bukan mitra yang diajak berdialog.

Para alumni UI yang hadir di acara itu pun terpukul. “Saya lulus tahun 2010. Dulu, kita bisa protes, tapi tetap dihargai. Sekarang, protes dianggap makar. Ini bukan UI yang saya kenal,” ujar Dewi, seorang mantan aktivis BEM UI yang kini bekerja di lembaga NGO.

Dana Abadi UI: Transparansi atau Eksploitasi?
Program “Dana Abadi UI” sendiri sebenarnya bukan hal baru. Konsepnya mirip dengan endowment fund di universitas-universitas top dunia seperti Harvard atau Stanford. Tapi ada perbedaan mendasar: di Harvard, dana itu dikumpulkan dari alumni kaya dan korporasi; di UI, justru ditujukan kepada mahasiswa yang baru saja membayar biaya wisuda, dan sebagian besar masih bergantung pada pinjaman kuliah atau bantuan orang tua.

Belum ada kejelasan soal:

Berapa total dana yang terkumpul?
Bagaimana mekanisme pengelolaannya?
Siapa yang bertanggung jawab atas audit keuangan?
Apakah ada komite independen yang mengawasi?
Tanpa jawaban ini, program tersebut tidak bisa disebut sebagai “dana abadi”. Ia lebih mirip “dana abadi kecurigaan”.

Gema “Zionis!” yang Mencatat Sejarah
Apa yang terjadi di gedung wisuda UI pada hari itu bukanlah insiden kecil. Ini adalah fenomena sosial-politik yang mencerminkan runtuhnya kepercayaan civitas akademika terhadap pimpinannya. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah modern UI, teriakan politik menggantikan sorak-sorai di momen paling sakral bagi seorang mahasiswa: saat ia menerima ijazah.

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya