Zulkifli Hasan Banjir Kritik: Aksi Bersihkan Rumah Warga Dipertanyakan, Netizen Minta Kebijakan Nyata, Bukan Sekadar Pencitraan
Zulhas-Instagram-
Sementara itu, @zaenabmahendra menegaskan:
"Bukan itu yang dibutuhkan warga, Pak. Tapi kebijakan Anda (pemerintah) yang bisa berdampak terhadap lingkungan."
Jejak Masa Lalu: Ketika Zulhas Masih Menjabat Menteri Kehutanan
Kritik terhadap Zulhas tidak muncul dari ruang hampa. Publik masih ingat masa kepemimpinannya sebagai Menteri Kehutanan periode 2012–2014, di mana deforestasi dan alih fungsi hutan kerap menjadi sorotan. Banyak aktivis lingkungan saat itu menilai kebijakannya terlalu longgar terhadap perusahaan perkebunan dan pertambangan, yang berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologis—termasuk banjir dan tanah longsor.
Padahal, banjir bandang yang melanda Padang dan sejumlah wilayah Sumatera Barat pada akhir November 2025 tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi juga oleh degradasi lahan, alih fungsi hutan, dan tata ruang yang tidak berkelanjutan. Dalam konteks inilah, masyarakat menilai bahwa kehadiran Zulhas di lokasi bencana justru terasa ironis—seolah lupa pada tanggung jawab historisnya terhadap lingkungan.
Antara Empati dan Tanggung Jawab Kebijakan
Tentu saja, tidak semua komentar bernada negatif. Sebagian warga menghargai keberanian Zulhas untuk hadir langsung, terutama di tengah kecenderungan pejabat yang lebih nyaman berada di balik meja atau hanya mengirimkan bantuan logistik tanpa terjun ke lapangan.
Namun, dalam situasi darurat yang berulang dan sistemik seperti ini, masyarakat kini menuntut lebih dari sekadar simpati. Mereka menginginkan kehadiran pemerintah dalam bentuk regulasi tegas, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, serta investasi jangka panjang dalam mitigasi bencana dan restorasi ekosistem.
Refleksi: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Korban Bencana?
Pertanyaan mendasar yang muncul dari polemik ini adalah: Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh korban bencana?
Apakah mereka memerlukan pejabat yang turun menyapu lumpur—meski hanya sesaat—atau mereka membutuhkan jaminan bahwa bencana serupa tidak akan terulang karena adanya kebijakan yang melindungi hutan, mengatur tata ruang, dan memperkuat ketahanan komunitas?
Jawabannya tampaknya sudah jelas dari suara publik. Mereka tidak menolak empati, tetapi menuntut akuntabilitas. Mereka tidak menutup pintu untuk solidaritas, tetapi menginginkan keadilan lingkungan dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan.